halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Selasa, 18 Desember 2012

PILKADA MINAHASA DALAM PANDANGAN SEMIOTIK

 (sebuah evaluasi politik)
        I.            MARI BERNOSTALGIA
Masyarakat Minahasa[1] telah kehilangan etos politik kulturalnya sejak penetrasi kolonial dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini tidak semata-mata harus disalahkan pada faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya tetapi juga faktor internal yaitu masyarakatnya sendiri. Orang minahasa memang sangat adaptif, dinamis, dan fleksibel menanggapi sesuatu di luar dirinya. Tonaas (wangko), walian (wangko), wailan (wangko), ukung (tua), tu’a in lukar, meweteng, waraney, teterusan, dan potuasan adalah istilah politik kultural Minahasa yang tentunya mempunyai semangat fundamental yang berakar dari kebudayaannya. Tetapi kebanyakan istilah tersebut telah diganti dengan istilah yang tidak memiliki persektif kultural dan semangat politik Minahasa yang sebenarnya. Yang perlu ditekankan adalah orang Minahasa dulu tidak tunduk pada pemerintah – begitu juga terhadap pemerintah kolonial - secara buta. Artinya pemerintah yang diakui adalah pemerintah yang benar-benar menjalankan tugasnya secara benar, baik, dan jujur.
Tetapi kontalasi politik Minahasa kontemporer adalah oposisi biner atau bertolak belakang dari politik kulturalnya. Umumnya, politisi (politikus) kita sekarang ini sangat oportunis, individualistik, dan borjuistik sementara masyarakatnya juga opotunistik, individualistik, apatis, dan pasif. Ini merupakan dekadensi dan degradasi sosial yang tentunya bukanlah harapan leluhur minahasa yang telah mencanangkan politik integrasi untuk menata serta menjaga wilayah dan masyarakat minahasa. Memang membutuhkan semangat mapalus untuk menata  serta semangat waraney untuk menjaga wilayah dan masyarakat Minahasa.
      II.            PILKADA SEBAGAI  TEKS
Dalam politik, ‘tanda’ (sign) akan mengabdi pada kepentingan sebagai usaha untuk ‘menjebak’ masyarakat (pemilih) dalam perspektif tertentu. Warna, corak, lambang, bahasa, budaya, gender, suku, clan, distrik akan menjadi tanda-tanda yang melegitimasi hal-hal tertentu. Dalam konteks kepentingan politik tanda semacam itu sengaja dibentuk sebagai penanda yang akan memunculkan perspektif idealistik, provokatif, dan persuasif. Kekuasaan adalah tujuan par excellence daripada konotasi representasi yang dibuat.
Pilkada merupakan mediasi pertarungan politik yang memproduksi tanda-tanda ideologis demi kepentingan tertentu. Ada beberapa unsur penting dalam pilkada yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), Partai Politik (Parpol), figure, dan masyarakat pemilih. KPU adalah fasilitator penyelenggara pilkada sementara panwas adalah pemantau penyelenggaraan pilkada yang harus sesuai undang-undang yang berlaku. Parpol adalah pengusung kader sebagai peserta pilkada sementara figure adalah kader partai ataupun yang  independen yang memiliki potensi, citra, prestasi, dan prestise yang merupakan peserta pilkada. Dan masyarakat pemilih adalah yang mempunyai wewenang untuk memilih dan menentukan figure yang pantas memimpin mereka. Kalau bisa digolongkan menjadi tiga maka KPU bersama Panwas, Parpol bersama figure, dan terakhir  masyarakat pemilih. Jadi ada tiga golongan. Yang pertama golongan netral, kedua golongan kepentingan, dan ketiga golongan penentu.
KPU dan Panwas akan memproduksi tanda-tanda yang bersifat netral untuk diri mereka sendiri melalui pernyataan atau slogan-slogan tertulis. Tujuannya untuk menimbulkan kesan ketidakberpihakan atau memproteksi diri mereka dari berbagai tuduhan. Sementara Parpol dan figure akan memproduksi tanda-tanda persuasif yang cenderung menghimbau, membujuk, bahkan memaksa masyarakat untuk memilih dirinya. Golongan netral dalam hal ini bisa juga menjadi golongan kepentingan dan penentu sekaligus. Oleh karena tanda-tanda intensional bisa saja merupakan tipuan jika praktiknya tidak sesuai dengan tanda yang diproduksinya. Tanda memang dapat mengungkapkan kebenaran sekaligus kebohongan.
Ketika KPU melakukan intervensi yang ‘berlebihan’ terhadap kertas suara – mendiskreditkan kelompok kepentingan tertentu -  dan panwas membiarkan pelanggaran pilkada oleh parpol atau figure tertentu maka dengan begitu mereka bukan lagi golongan yang netral tetapi telah menjadi golongan kepentingan dan penentu. Sehingga dengan begitu tanda yang mereka produksi secara sadar adalah tanda yang digunakan untuk berbohong.
    III.            PARPOL-FIGUR, DAN PEMILIH
Warna, corak, slogan politik, lambang yang identik dengan partai akan melebur dengan prestise, citra, slogan politik/budaya/agama, identitas kultural/sosial yang melekat pada figure menjadi representasi ideologis yang kompleks dalam poster, baliho, stiker, atau mediasi apapun yang mengikatnya. Sehingga figure (peserta) pilkada tergambar dalam mosaik kompleks (overcode) yang bukan lagi representasi dirinya sendiri. Tetapi ini memang disengaja sebagai strategi politik pemenangan untuk merebut kekuasaaan.
Parpol dan figure akan menggunakan tanda-tanda kultural dan agama – sebagai tanda tertinggi - untuk menimbulkan kesan yang bermakna bahwa mereka adalah pemimpin ideal, pantas, dan harus menjadi pemimpin. Selain money politic, faktor psikologis sangat menentukan dalam suksesi kepentingan politik. Ini juga disebut sebagai politik pencitraan untuk merebut simpati masyarakat pemilih. Parpol-figure, dan pemilih memiliki relasi politik dalam kepentingan jangka pendek. Sementara parpol dan figure sendiri mempunyai relasi jangka panjang dengan menciptakan tanda untuk merebut dominasi kekuasaan.
Warna (merah, kuning, biru, ungu, hijau, dll) dalam politik adalah identitas partai yang mempunyai makna provokatif. Ini membedakan warna sebagai tanda dalam konteks lalu lintas (traffic light) di mana warna merah tanda berhenti (larangan), kuning tanda hati-hati (himbauan), dan hijau tanda jalan (kebebasan). Politik memberikan perspektif pada warna-warna tertentu sebagai representasi keberpihakan, kejujuran,kerja keras, dan nilai-nilai religious. Corak adalah tanda  merujuk pada bentuk gambar pada pakaian yang bisa merepresentasikan budaya dan watak kepemimpinan tertentu. Misalnya ketika seorang figure menggunakan pakaian bercorak batik itu memrepresentasikan bahwa dia mencintai budaya nasional. Slogan politik yang bisa mengandung unsur budaya dan agama juga menandai bahwa parpol atau figure memiliki wawasan budaya dan agama yang akan berpengaruh pada kebijakan politiknya. Misalnya parpol dan figure mengutip ayat-ayat dalam kitab suci atau ungkapan-ungkapan kuno – dengan menggunakan bahasa lokal -  untuk melegitimasi posisinya sebagai kandidat.
Tanda yang tak kalah sensitif dalam politik adalah identitas kultural yang merepresentasikan sentiment kultural. Identitasi kultural berkaitan dengan jati diri kolektif masyarakat menyangkut kepemilikan tanah (tanah adat), adat istiadat, dan kebijakan politik. Isu ‘orang asing’ biasa digunakan parpol dan figure untuk menghantam kandidat lain. Oleh karena identitas kultural merepresentasikan kelayakan menjadi pemimpin, penguasaan medan politik, dan bisa juga dikatakan ‘merakyat. Feminisme juga bisa menjadi tanda yang digunakan untuk kepentingan politik. Isu feminisme yang memperjuangkan hak-hak perempuan cukup provokatif untuk menyatukan persepsi mayarakat pemilih khususnya di kalangan organisasi perempuan.
 Inilah fenomena tanda dalam dunia politik di mana dia harus mengabdi pada kepentingan-kepentingan. Tanda dalam konteks ini digunakan untuk ‘menipu’ dengan representasi kompleks terhadap partai dan figure. Dalam hal ini tanda menjadi ironi dan kontradiktif terhadap dirinya sendiri ketika kenyataan perilaku partai dan figure tidak merepresentasikan tanda-tanda yang mereka buat.
    IV.            MASYARAKAT SEBAGAI INTERPRETAN
Jika masyarakat Minahasa masih terjebak pada interpretasi tanda sesuai dengan konvensi[2] maka sebetulnya mereka terjebak pada lingkaran politik yang tidak sehat. Oleh karena dalam politik tanda-tanda seperti identitas keagamaan, kultural, warna, corak, dan slogan politik/budaya/agama di gunakan untuk mendustai masyarakat demi kepentingan meraih jabatan-jabatan tertentu. Pada kenyataannya secara umum masyarakat telah mengetahui  - walaupun tidak dalam kesadaran diskursif – tentang pemanfaatan tanda-tanda tertentu untuk kepentingan politik. Tetapi dalam dinamika politik ini terus berlangsung dan terjadi secara berulang-ulang.
Masyarakat Minahasa membutuhkan metode dekonstruksi[3] terhadap tanda-tanda yang dimaknai secara konvensional. Agar supaya tidak terjebak secara berkesinambungan pada politik tanda yang representasinya tidak sesuai dengan realitas politik. Ini untuk memutus tradisi politik yang tidak sehat karena masyarakat adalah interpretan tanda maka itu semua akan bergantung padanya. Sebagai interpretan masyarakat juga memiliki fungsi penentu yang sebenarnya terhadap legalitas politik.
Masyarakat pemilih terbagi menjadi pemilih ideologis, oportunis,  dan skeptic dalam merespon pilkada. Pemilih ideologis adalah orang yang mengerti betul tentang orientasi partai dan kampanye politik sehingga suaranya diberikan pada partai atau figure politik yang sesuai dengan ideologinya. Pemilih oportunis adalah orang yang mengarahkan suaranya pada partai dan figure politik yang berorientasi pada kepentingan jaminan posisi (jabatan) dan uang (money politic). Dan pemilih skeptic adalah orang yang telah mengalami krisis kepercayaan dan apatis terhadap partai dan figure politik sehingga mereka bisa juga dikategorikan pemilih mengambang dan golput.
Dari ketiga jenis pemilih di atas yang sering terjebak pada tanda adalah pemilih ideologis yang termakan janji-janji dari representasi yang dibuat oleh partai dan figure politik. Walaupun memang money politik juga merupakan unsur yang berpengaruh dalam strategi pemenangan politik. Tetapi mayoritas pemilih terjebak pada tanda yang memiliki representasi ilusif sehingga proses politik di minahasa sebenarnya mengalami dekadensi. Waktu dan citra bisa saja progresif tetapi esensi politik mengalami degradasi. Ini mungkin wawasan politik kultural yang tidak berakar dalam masyarakat sehingga etos politik kita merujuk pada kultur politik di luar kebudayaan kita.
      V.            QUO VADIS MINAHASA
Kalau kondisi politiknya seperti ini sebenarnya minahasa mau dibawa ke mana, arah dan tujuannya? Minahasa telah melakukan subtitusi etos politik karena pengaruh wawasan poltik dunia[4]. Sun-Tzu, Napoleon, Machiavelli, dan Cicero (dll) adalah referensi politik partai dan figure di Minahasa sehingga praktik politiknya merupakan imitasi dari kebudayaan di luar Minahasa (strange culture). Ini mengindikasikan Minahasa telah melupakan etos kebudayaan seperti pandangan social, ekonomi, dan politik yang asli (origin culture).
Progresivitas politik di Minahasa hanya bermain pada dua tataran yaitu tataran waktu dan tataran citra. Waktu (time) dalam diskursus filsafat mungkin belum selesai dibahas atau tidak mempunyai kesimpulan yang memuaskan tetapi prisnsipnya waktu tak pernah berulang. Dia selalu progresif. Politik di Minahasa terus bergulir dan progresif dalam tataran waktu tak peduli apakah mengalami peningkatan kualitas yang esensial atau justru menurun (dekadensi dan degradasi). Kedua progresivitas citra politik, masyarakat menikmati proses politik dalam citra yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Misalnya saat ini kita bisa menikmasti kampanye lewat audia-visual di internet dan channel TV atau baliho, sticker, brosur, yang dirancang dengan menggunakan teknologi modern. Sementara progresivitas kejujuran dan keadilan dalam proses politik dan menjalankan pemerintahan tidak dilakukan dengan baik. Realitas politik di Minahasa adalah penyalagunaan kekuasaan (abusement of power). Sehingga dialektika politik yang menonjol bukanlah politik kultural tetapi merupakan imitasi dari negara dan bangsa lain.
Perlu adanya gerakan pemaknaan kembali terhadap proses politik untuk mengevaluasi politik di Minahasa apakah masih sesuai dengan semagat mapalus yang merupakan hasil kebudayaan Minahasa atau justru etos politik Minahasa sekarang ini telah digerogoti oleh wawasan dunia. Dengan demikian minahasa akan mampu menganalisa dirinya sendiri apakah ‘masih utuh’ atau telah kehilangan bagian-bagian tertentu dan telah tercemar.


[1] Minahasa dalam tulisan ini tidak mengandung makna batas teritori politik tetapi lebih pada kesatuan kultural sebagai suku bangsa. Oleh karena sekarang ini minahasa telah dibagi dalam wilayah-wilayah politik kabupaten seperti Minahasa; yang juga disebut Minahasa Induk, Minahasa Utara, dan Minahasa Selatan.
[2] Semiotika struktural terjebak interpretasi tanda sesuai dengan makna konvensional masyarakat yang kadang tidak sesuai dengan realitas politik. Misalnya slogan politik yang berpihak pada rakyat kecil yang pada kenyataannnya hanya untuk merekbut simpati masyarakat miskin yang dianggap mayoritas pemilih. Atau warna agama dianggap sebagai representasi kesucian padahal parpol dan figure politik yang membawa isu agama juga adalah praktisi korupsi, kolusi, dan nepotisme.
[3] Istilah dalam postmodernisme yang dipopulerkan oleh Jacques Derrida sebagai kritik terhadap strukturalisme Ferdinand De Saussure. Derrida mengemukakan konsep pembeda (defferance) yang tidak sama dengan konsep pembeda (defference) de Saussure. Menurut derrida tanda mengalami proses penandaan terus menerus sehingga tidak terstruktur menjadi penanda – petanda tetapi penanda – penanda. Artinya tidak ada pemaknaan tunggal terhadap suatu tanda. Ini juga memiliki kesamaan dengan konsep intertekstualitas Julia Kristeva dan kematian pengarang Roland Barthes.
[4] Ini juga dipengaruhi penetrasi agama dan globalisasi yang merombak, mengadaptasi, danmengganti struktur sosial. Dengan begitu terjadi amnesia massal terhadap kebudayaan local karena dipandang rendah atau tidak sesuai denga kepercayaan yang baru dianut.

Senin, 17 Desember 2012

AER TONDEI


(media sosialisasi bagi masyarakat)
Monumen Aer Tondei
Sebelum pemekaran desa masyarakat Tondei terbagi berdasarkan kondisi teritori alamnya dengan istilah orang gunung; yang tinggal di daerah atas dengan kondisi tanah yang miring, orang li’ba; yakni orang yang tinggal di daerah bawah dengan kondisi tanah yang relatif rata. Wilayah li’ba pun terbagi dua yaitu yang disebut amonge yang tinggal di daerah utara bersama juga dengan orang-orang yang tinggal di lumopa dan ameko yang tinggal di daerah selatan yang dekat dengan bekas perkampungan yang disebut mawale. Setelah pemekaran desa Tondei menjadi Tondei yang juga disebut Tondei Induk, Tondei Satu, dan Tondei Dua. Sayang sekali ketika pemekaran tidak ada yang mengusulkan nama desa-desa itu sesuai dengan nama yang popular dan berkarakter kultural di tengah masyarakat. Setidaknya dengan begitu ada ingatan kolektif yang di bawah oleh nama desa yang bisa dicari oleh generasi selanjutnya.
Aer Tondei yang masih digunakan oleh warga tetapi sudah dalam kondisi yang berbeda.


Di tahun 90-an keadaan desa Tondei masih sangat terbelakang di mana kondisi transportasi sangat sulit karena minimnya kendaraan dan jalanan yang rusak dan sempit[1]. Listrik masih sangat terbatas bagi golongan menengah ke atas sehingga yang memiliki alat elektronik seperti radio dan televisi masih sangat minim juga. Tak heran di zaman ini orang Tondei sering berkumpul di rumah keluarga yang mempunyai alat tersebut hanya untuk menonton atau mendengar berita. Kadang-kadang jumlah massa yang terkumpul bisa berkisar ratusan di satu rumah keluarga. Waktu itu juga setiap tanggal 30 September pemerintah orde baru (orba) mengharuskan salah satu stasiun TV  menayangkan film G-30 S PKI untuk mengenang ke tujuh jendral yang menjadi korban kudeta di tahun 1965. Karena mangkage[2] orang Tondei sampai harus membayar karcis supaya bisa menonton di hari itu.
Lokasi Batu Payung dalam keadaan sekarang.
Pada masa itu, pagi dan sore hari anak-anak laki dan perempuan pasti akan sibuk dengan menimba air sebagai tugas rutin bagi mereka. Mereka akan membawa gelon dan ember – tetapi masa sebelumnya menurut keterangan orang tua bahwa mereka menggunakan bulu (bambu) yang dibuat seperti sareng[3]  untuk menimba air - dengan ukuran yang beragam sesuai dengan kemampuan mereka. Ada juga orang yang menggunakan roda khusus untuk menimba air jadi dia bisa mengangkat beberapa gelon sekaligus. Yang mempunyai alat ini juga terbatas untuk orang yang memiliki kemampuan ekonomi atau mereka yang mempunyai keterampilan membuatnya. Tetapi juga yang pasti mata air adalah tempat bertemunya orang desa – tak terbatas hanya bagi anak-anak tetapi untuk semua kalangan - untuk menimba air, mencuci baju, dan membersihkan diri.
Ada masa tertentu di desa Tondei ketika musim masih menentu dan masyarakat bisa memprediksikan hasil panen, musim kemarau akan menjadi salah satu pendorong mau tidak mau masyarakat akan tersentral pada mata air. Di desa ini ada beberapa mata air yang terkenal yaitu Aer Duriang[4] yang letaknya dekat dengan orang ameko, Aer Tondei[5] yang letaknya dekat dengan orang amonge, dan Aer  (di) Gunung[6] yang letaknya dekat dengan orang gunung. Tetapi dari ketiga mata air itu Aer Tondei dikenal dengan kebal kemarau panjang. Jadi walaupun kemarau panjang mata air itu tetap akan ada terus. Sehingga ketika mata air di daerah lain sudah mati maka seluruh masyarakat desa akan mengambil air di Aer Tondei. Dengan begitu proses sosialisasi antar warga dari ketiga wilayah itu pun akan terjadi.
Aer Orang Gunung dalam keadaan sekarang.
Karena tempat mandi dan menimba air sudah terpusat maka orang harus antri dan inilah yang juga menjadi momen orang desa mulai mengangkat bahan diskusi. Apalagi para pemuda dan bapak-bapak yang baru pulang dari kebun di sore hari pasti ingin melepas lelah dengan mandi di mata air yang segar. Di mata air ini dipisahkan untuk tempat mandi laki-laki dan perempuan tetapi untuk menimba air biasanya berlaku umum di satu. Sambil menunggu orang yang sedang menimba air dan mandi maka yang lainnya berdiskusi tentang pekerjaan, hasil pekerjaan, kondisi desa, dan bagaimana desa di masa depan. Tetapi tak jarang pula ada yang berdiskusi tentang urusan pribadi dan keluarga orang lain. Tak hanya positif yang didiskusikan tetapi juga yang negatif. Tetapi inilah kondisi masyarakat Tondei pada waktu itu di mana mata air menjadi pusat bersosialisasi. Semua golongan tak memandang clan, umur, gender disatukan di mata air ini. Dari gunung, ameko, dan amonge terkumpul di Aer Tondei yang merupakan sumber air desa yang juga sangat strategis tempatnya.
Tetapi setelah adanya air yang dikelola oleh desa yang sudah menggunakan bak penampung dan pipa penyalur air yang diambil dari mata air wanga  dan kantil maka mata air seperti aer tondei, aer duriang, dan aer gunung mulai ditinggalkan dan hampir dilupakan. Oleh karena air bisa diprivatisasi di rumah masing-masing. Dengan begitu berakhirlah sudah tradisi bersosialisasi setiap pagi dan sore di mata air. Orang-orang desa tidak lagi harus berlelah menimba air dan mandi di alam terbuka karena air sudah bisa diakses di rumah sendiri. Tetapi untuk mengenang bahwa ada tempat yang dulunya mediasi masyarakat bersosialisasi maka dibuatlah tugu peringatan agar orang bisa mengenang dan ingatan itu bisa diwariskan ke generasi selanjutnya.
Batu Lutau di dekat Aer Orang Gunung
Memang etos masyarakat pada umumnya bergerak dari sosial ke individual sehingga prinsip-prinsip kebudayaan, keumuman, dan kebersamaan menghilang. Privatisasi menggerogoti nilai-nilai tertentu dalam masyarakat bahkan sampai pada vitalitas nilai itu sendiri. Seperti prinsip mapalus (maando) yang sebenarnya telah diinterpretasikan sebagai hubungan simbiosis mutualisme dalam konteks kepentingan individual. Telah hilang kesadaraan kebersamaan dalam masyarakat sehingga sebuah sumbangan baik fisik dan non-fisik selalu pamrih. Ini mengindikasikan bahwa vitalitas dalam masyarakat tentang etos budaya telah hilang sama sekali. Yang ada hanyalah jejak (trace) kebudayaan itu sendiri yang mungkin bisa digunakan untuk bernostalgia atau sekedar pemuasan intelektual saja.



Glorya dan Queen di Batu Lutau.


[1] Karena kondisi ini sehingga muncul pernyataan dari desa tetangga bahwa tunggu babi nae kalapa baru oto maso di Tondei. Sebuah pernyataan yang berkonotasi tak mungkin bagi desa Tondei untuk di kunjungi kendaraan bermotor/beroda empat.
[2] Kata ini menyangkut gairah atau semangat karena keterpesonaan akan sesuatu yang baru sehingga orang tersebut sangat berantusias menanggapinya.
[3] Tempat untuk menampung tombal/saguer (air nira) dari pohon seho (enau) yang diolah menjadi gula merah atau captikus.
[4] Aer Duriang ini juga berdekatan dengan lokasi bekas perkampungan yang disebut mawale dan di tempat ini juga ada sebuah batu lisung.
[5] Letak Aer Tondei juga berdekatan dengan Batu Payung yang menurut orang Tondei memiliki kekuatan mistis yang berfungsi menjaga desa dari perampokan atau orang yang bermaksud jahat. Disebut Batu Payung karena bentuknya yang menyerupai payung dan terletak di samping atas jalan.  Dengan batu itu segala maksud jahat akan dihalau oleh batu tersebut. Tetapi ketika ada pelebaran jalan maka batu itu sengaja dijatuhkan tapi menurut keterangan orang tua semua pekerja yang menjatuhkan batu itu meninggal. Itu karena mereka tidak mendengar nasihat tua-tua desa bahwa batu itu mempunyai kekuatan mistis. Ketika mereka berusaha menjatuhkan batu itu butuh waktu berjam-jam dan walaupun sudah digali begitu dalam batu itu tak kunjung jatuh. Tapi itu tidak membuat para pekerja itu percaya dengan kekuatan mistisnya dan terus berusaha sampai batu itu jatuh.
[6] Aer Gunung ini juga disebut Aer Kantil atau Aer Raanan karena letaknya juga dekat dengan Kuala (sungai) Raanan. Mata air ini juga berdekatan dengan batu lutau atau batu lisung yang juga dipercayai masyarakat memiliki kekuatan mistis. Benda ini masih dalam perdebatan apakah kuburan (sarkofagus) atau tugu peringatan (menhir) yang diwariskan oleh kebudayaan Minahasa.

Sabtu, 01 Desember 2012

YUDAS DAN 30 KEPING PERAK


(Renungan menjelang natal)
Yudas adalah tokoh kontroversial dari dua belas murid Yesus dalam empat injil di Alkitab. Dia adalah pribadi yang digambarkan sedemikian rupa dalam injil sebagai pengkhianat yang telah kerasukan roh iblis sehingga menyerahkan gurunya disalib dengan bayaran 30 keping perak. Tapi apakah benar orang yang berasal dari kaum zelot[1] yang terkenal dengan keradikalannya ini adalah pengkhianat? Sebenarnya masih ada perdebatan teologis yang belum selesai tentang Yudas. Apalagi ketika dipublikasikannya Injil Yudas (The gospel of Judas) dan buku penunjang lain seperti The lost gospel serta pembahasan kitab apokripa lainnya yang menjadi konsumsi massa. Iman Kristen mengalami guncangan yang luar biasa ditambah kajian sosiologi yang menggambarkan kondisi agama itu sendiri. Tetapi kita tidak akan terlalu mendalam membahas tentang posisi Yudas dalam perpektif kontradiksi teologis.
Kematian Yesus adalah konspirasi di mana Yudas (si pengkhianat), para imam, raja (Herodes), pemerintah Romawi (Pilatus), dan prajurit Romawi termasuk di dalamnya. Awalnya, oleh para imam Yesus hanya dipandang sebelah mata karena dia hanya melakukan pengajaran dan penyembuhan terhadap masyarakat. Tetapi ketika pengikut Yesus menjadi lebih besar sampai 5000 orang maka itu mempunyai konotasi menggeser posisi imam dan mengacam stabilitas pemerintahan Romawi; ini mengarah pada revolusi seperti ju ga yang digalang Musa di tanah Mesir. Oleh karena bersatunya bersatunya kaum eseni[2] (pengikut Yohanes Pembabtis) dan kaum zelot sehingga menjadi ancaman politik yang besar.
Aktivitas Yesus mulanya adalah mengkritik agama Yahudi yang telah terjebak pada ritual rutinitas dan mekanistik. Para imam telah melepas fungsi sosialnya dan bersekutu dengan pemerintahan kolonial (Romawi) dan raja bonekanya. Bait suci telah menjadi pusat aktivitas perdagangan sehingga Yesus mengingatkan bahwa ada tertulis rumah-Ku adalah rumah doa tetapi kamu jadikan sarang penyamun. Manusia telah menuhankan dirinya dengan menghakimi bahwa sesamanya lebih berdosa daripada dirinya sendiri. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Gerakan yesus di satu sisi membawa kedamaian tetapi di satu sisi membawa ancaman. Dia sendiri pernah mengatakan “jangan kamu menyangka, bahwa aku datang untuk membawa damai di atas bumi; aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang…”
Para imam ketika merasa terancam maka mereka mulai merancangkan sebuah konspirasi pembunuhan untuk Yesus. Mereka merangkai isu bahwa gerakan Yesus adalah sesat karena sering mengkritik dan menghujat agama Yahudi (padahal yang dikritik adalah manusianya), subversif terhadap Imperium Romawi, dan ingin membangun kerajaan sendiri menggantikan Herodes. Mereka juga mulai mengadu domba masyarakat dengan menyatakan bahwa Yesus adalah penyesat/penyihir (witch) dan mencari murid Yesus yang bisa disuap. Akhirnya dengan tiga puluh keping perak konspirasi pembunuhan Yesus pun dimulai.
Walaupun Yudas dan para imam tahu dan menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh Yesus adalah benar tetapi meraka tetap bersikeras untuk menjebaknya. Semata-mata hanya untuk mendapatkan keuntungan (tiga puluh keping perak) dan prestise sebagai orang suci utusan tuhan. Pilatus pun mencuci tangannya dan berpura-pura tidak tahu sedangkan para prajurit berdalih hanya menjalankan perintah. Setelah kematian Yesus dan terjadi keajaiban maka mereka pun menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah kesalahan. Seperti apa yang dikatakan oleh prajurit romawi ketika berada di bawah salib bahwa Yesus adalah orang benar. Dan juga ketika tabir bait suci terbelah dua maka para imam meratapi apa yang telah mereka lakukan.
Fenomena serupa pun kita bisa temukan hari ini di negara kita di mana terjadi perselingkuhan antara pemerintah, kaum borjuis, dan agama untuk menindas masyarakat dan mendiskreditkan para aktivis yang mengkritik dan memperjuangkan prinsip demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan. Pemerintah telah mengklaim secara implisit bahwa negara adalah mereka sendiri seperti ungkapan raja Prancis; l’etat c’est moi. Kaum borjuis dan kapitalis telah melupakan prinsip kemanusiaan dan mempriritaska akumulasi modal. Sementara agama juga ikut melegitimasi praktik-praktik kapitalisme dan abusement of power dari pemerintah. Memang sampai saat ini pro status quo buta warisan orde baru masih mengakar karena ‘kebijakan’ yang traumatis oleh rezim tersebut.
Hari ini gereja kristen telah menjadi sarang akumulasi modal dan memperkaya oknum tertentu dengan menggunakan otoritas ‘kudusnya’. Gereja sekarang tak lebih dari sarang penyamun di mana kepentingan duniawi yang sangat mendominasi. Yang sangat ironis ketika mereka juga membantu mengkampanyekan figur tertentu dan anti tradisi kritis serta pro status quo. Hakikat kekristenan dan pelayanan digerogoti oleh kebutuhan duniawi dan kekudusan itu sendiri termarjinalisasi. Organisasi yang membawa kepentingan agama tak lebih dari sekedar mencari keuntungan. Jika yang sacral saja sudah tidak benar di negeri ini apalagi yang profane.
Inkarnasi Yudas pun banyak beraktivitas di negeri ini di mana demi sejumlah uang mereka mau melakukan kejahatan terhadap orang benar, mengkhianati kepercayaan sendiri, demokrasi, prinsip keadilan, kemanusiaan, dan kebenaran. Mereka telah menjadi hamba uang dan menuhankan diri mereka sendiri untuk menilai apa itu baik buruk juga salah benar. Kita akan menjumpai mereka di intansi pemerintahan, pendidikan, agama dan lain sebagainya. Tapi itu menurut mereka adalah kewajaran dalam dunia materi sehingga kita hanya bersandiwara untuk menjadi orang benar.
Ambil kasus tambang emas di mana pemerintah, korporasi, agama, dan kaum Yudas bersatu untuk merampas hak rakyat kecil dan kesejahteraan mereka. Tak peduli berapa besar kerugian rakyat, berapa banyak rakyat yang jadi korban yang terpenting mereka dan keluarga ‘bertumbuh’. Kesejahteraan mereka adalah prioritas tak peduli dengan cara apa yang penting mereka kaya dan tujuh generasi selanjutnya tetap merasakan itu. Dan aparat penegak hukum akan berdalih bahwa mereka hanya menjalankan tugas, sama persis seperti tentara romawi menyeret dan menyiksa Yesus. Kita bisa melihat berapa banyak aktivis yang dibunuh hanya karena ingin menegakkan keadilan dan kebenaran tetapi semua yang bertentangan dengan kepentingan kaum borjuasi (juga kaum Yudas) pasti benasib malang.
Yesus adalah teladan revolusioner sejati yang bersedia mati demi keadilan, kebenaran dan kesejahteraan umat manusia. Mari merenung untuk itu; pertanyakan kembali kekristenan kita.


[1] Zelot adalah sekte yahudi yang percaya bahwa pembebasan bangsa Israel dari imperium Romawi adalah dengan cara atau jalur revolusi. Sebuah gerakan yang berlandaskan  kesadaran politik untuk membebaskan bangsa Israel dari penjajahan.
[2]Eseni adalah sekte yahudi yang percaya bahwa pembebasan kaum Israel melalui nubuatan di mana bangsa Israel akan dibebaskan oleh seorang raja.