halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Senin, 29 Oktober 2012

DEKONSTRUKSI PARADIGMA KEMINAHASAAN


(Sebuah stimulus dialog kritis)
Friedrich Nietzsche
                Tulisan ini bermaksud menghancurkan tatanan berpikir dan penilaian masyarakat minahasa yang terjebak pada ‘etnosentrisme’. Karena kesadaran akan sejarah yang terlalu subjektif akan meluluhkan fakta-fakta tertentu dan menciptakan narasi sejarah yang diselimuti oleh kebohongan. Dengan meminjam metode dekonstruksi maka paradigm tentang tatanan kebudayaan minahasa yang ada harus berusaha dihancurkan untuk menstimulus para sejarahwan dan budayawan untuk senantiasa lebih kritis dalam menggali, menulis, dan mendistribusikan kebenaran sejarah.
                Metode dekonstruksi yang digunakan di sini lebih dekat dengan filsafat nihilism[1] (baca : F. Nietzcshe) yang mendestruksi nilai-nilai tertinggi. Dengan meragukan dan mengkritik habis-habisan akan mendorong orang lain untuk melawan lebih kristis sehingga dilaketika ini akan melahirkan karya yang semestinya mengandung nilai-nilai kebenaran yang telah dikaji secara komprehensif.
1.       DEKONSTRUKSI MITOS MANUSIA PERTAMA DI MINAHASA
Ketika menelusuri asal usul orang Minahasa (native society) maka kita akan diperhadapkan dengan sejumlah mitologi dan perspektif historis. Semua menceritakan manusia pertama (Lumimuut dan Toar) dengan versinya masing-masing. Dari perspektif mitologi asal usul orang Minahasa katanya dari Wullur Mahatus. Lumimuut lahir dari batu dengan mediasi karema dan setelah dihadapkan ke beberapa penjuru mata angin akhirnya Lumimuut hamil;  mengandung Toar. Kemungkinan mitos ini diciptakan untuk mengklaim batas tanah minahasa ada di sana. Oleh karena terjadi sengketa antara Tontemboan dan Mongondow dan akhirnya menjadi perang kolosal yang melibatkan etnis lainnya. Sementara dari perspektif historis (namun aksiomatis) orang minahasa berasal dari bangsa Mongol yang melakukan eksplorasi atau pun gerombolan orang yang secara kebetulan berlabu di tanah Sulawesi Utara. Ini mengindikasikan bahwa orang Minahasa yang disebut sekarang ini bukanlah penduduk asli (imigran).
Mitologi bahwa orang Minahasa berasal dari Wullur Mahatus (daerah Modoinding sekarang) mungkin sengaja diciptakan untuk membenarkan perang perebutan tanah adat. Di daerah Motoling khususnya banyak nama-nama perkebunan dan tempat yang berasal dari bahasa mongondow. Oleh karena memang sebagian tanah Minahasa Selatan dulunya didiami oleh orang Mongondow.
2.       DEKONSTRUKSI BANGSA (ETNIK) MINAHASA
Bangsa dalam pengertian kaum fasis[2] adalah masyarakat yang memiliki ras dan bahasa yang sama. Bersatunya sub etnik tountemboan, toulour, dan tombulu yang kemudian melahirkan istilah Minahasa tak lebih dari kesepakan politik. Oleh karena arti Minahasa itu sendiri cenderung mengandung arti politis; dari kata ma dan esa yang diberi infiks in menjadi minahasa[3] yang artinya bersatu; disatukan; menyatu, sudah bersatu. Minahasa adalah preskripsi untuk mendamaikan konflik antar suku dan kemudian sebagai penentang imperialisme. Ini sama halnya dengan konsep Indonesia yang tak lebih dari kesepakatan politis akibat tekanan kolonialisme.
Minahasa  termasuk ras mongoloid dalam lingkar Asia Tenggara ciri-ciri orang Minahasa lebih mirip orang Filipin dan Thailan dan memiliki kemiripan kebudayaan[4]. Jadi bisa saja orang Minahasa sebenarnya adalah orang Filipin atau Thailan yang beremigrasi. Oleh karena dari segi ras dan kebudayaan memiliki banyak persamaan. Tetapi hari ini orang minahasa kebanyakan adalah hasil persilangan dari berbagai ras lainnya.
3.       DEKONSTRUKSI KEBUDAYAAN MINAHASA
Hereditas kebudayaan Minahasa patut dipertanyakan orisinalitasnya oleh karena ada beberapa kesenian orang minahasa yang dengan jelas adalah hasil adopsi. Tarian Katrili jelas diadopsi dari bangsa Portugis yang pernah datang ke minahasa. Tarian ini dijadikan sebagai tarian dalam pesta untuk menghibur kaum bangsawan atau acara penyambutan. Tarian Kabasaran (kawasaran) tidak hanya ada di Minahasa tetapi di daerah lain juga ada yang disebut cakalele. Dalam kurun Asia Tenggara tarian ini pun lazim dipertunjukkan sebagai hiburan di kalangan masyarakat[5]. Kain Bentenan dan ukirannya juga mirip dengan yang ada di Sumatera. Sementara etos masyarakat Minahasa juga patut dipertanyakan karena telah terkontaminasi dengan kekristenan. Kita tak dapat mendeteksi tentang keaslian ungkapan dan prinsip masyarakat yang asli karena sebagian besar sejarah Minahasa diperoleh dari buku yang ditulis misionaris belanda dan orang Minahasa yang telah menjadi Kristen. Penuturan mereka pasti dipengaruhi oleh identitas baru mereka[6].
Budaya mapalus juga bukan khas Minahasa tetapi merupakan kebudayaan nusantara makanya dalam perumusan Pancasila gotong royong yang sama dengan mapalus adalah budaya kerja masyarakat Indonesia. Suatu bentuk kerjasama yang melibatkan banyak orang dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.
4.       MINAHASA ADALAH MASYARAKAT FEODAL
Masyarakat Minahasa telah mengenal sistem kasta dan bentuk pemerintahan sendiri. Masyarakat dibagi menjadi tiga kelas :
1.       Golongan MAKARUA SIOW (Tombulu) : untuk mengatur pengajaran, ibadah dan adat.
2.       Golongan MAKATELU PITU (Toulour) : mengatur jalannya pemerintahan dan keamanan.
3.       Golongan PASIOWAN TELU (Tountemboan) : menjadi pekerja, sebagai rakyat biasa.
dengan  pemerintahan
1.       Yang disapah WALIAN : merupakan pemimpin adat, kepercayaan/agama.
2.       Yang jadi TONAAS : merupakan kepala walak, wanua, ahli pertanian.
3.       Disebut TETERUSAN : pimpinan perang.
4.       Diangkat POTUASAN : sebagai penasihat.
5.       Dan WARANEY : prajurit perang
Sejarah perkembangan masyarakat dimulai dari masyarakat komunal primitive – perbudakan – feodal – kapitalis[7]. Tetapi dalam hal ini peradaban masyarakat Minahasa tampaknya baru lepas dari masyarakat komunal primitive dan mengarah ke masyarakat feodal. Tampaknya perang antar suku belum bisa menghasilkan perbudakan[8].
5.       MINAHASA MASA KINI
Minahasa hari ini adalah masyarakat yang tak jelas dan kehilangan tumpuan etos dan budaya. Kehilangan jati diri dan kemudian melebur dalam arus modernisasi sehingga mengidentifikasikan diri dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Masyarakat minahasa telah mengalami kawin campur sedemikian rupa sehingga tak ada lagi yang bisa mengklaim diri sebagai pure society. Minahasa sampai hari ini terkenal dengan para pelacur yang diperdagangkan di nusantara bahkan ada yang diekspor ke luar negeri dan sekaligus menjadi budak di sana.
Minahasa yang mengklaim diri mempunyai semangat perang dan tak mau diperbudak akhirnya harus tunduk pada persoalan tuntutan ekonomi dan merelakan dirinya dieksploitasi dan dikomersialisasi. Orang-orang minahasa yang naik ke panggung politik nasional kini mempermalukan diri karena terjebak kasus korupsi.


[1] Filsafat nihilism tidak ingin terjebak pada kebenaran tertentu karena persoalan kebenaran sangat relative dan tidak mutlak. Kondisi nihilis tidak ingin mempercayai dan terjebak pada suatu kebenaran yang mutlak.
[2] Hitler sendiri dalam bukunya Mein Kamft menulis bahwa jerman dan Austria sebenarnya satu dalam konteks bangsa tetapi dipisahkan secara politis - begitu juga dengan Taiwan yang sebenarnya adalah bagian dari Cina. Inilah yang memunculkan konsep negara bangsa; bahwa negara harus didirikan dari satu bangsa.
[3] Grafland. Minahasa masa lalu dan masa kini.
[4] Anthony Reid dalam buku  Asia Tenggara dalam Kurun Niaga menjelaskan bahwa  ada masyarakat Asia Tenggara suka sekali bergaya. Bagi mereka pakaian sangat penting dalam pergaulan dibanding tempat tinggal oleh karena pakaian adalah sesuatu yang langsung dipandang orang. Orang Minahasa (Manado) terkenal dengan sebutan biar kala nasi asal jangan kala aksi atau orang Jawa membuat plesetan Menado yaitu menang tampang doang.
[5] Ibidem.
[6] Kekristenan membuat jembatan antara ajaran kristen dan kebudayaan Minahasa sehingga Minahasa modern adalah masyarakat sintetik.
[7] Dalam perspektif marxisme akhir dari perkembangan masyarakat adalah masyarakat sosialis dan komunis.
[8] Ada argumentasi masyarakat Minahasa tak pernah diperbudak walaupun dalam konteks kolonialisme Belanda karena orang minahasa diperlakukan sama dan menjadi mitra kolonialis. Makanya orang Minahasa (Manado) juga disebut anjing Belanda karena membantu Belanda menaklukkan daerah-daerah lain.

Sabtu, 27 Oktober 2012

CINTA DAN BUDAYA PATRIARKI



        I.            DEFINISI
Domba Kecil
Ketika mendengar atau membaca kata ‘cinta’ maka yang menjadi gambaran mental dalam otak kita adalah gambar hati atau sepasang manusia pria dan wanita. Tapi sebenarnya cinta memiliki arti lebih dari itu karena cinta bukan hanya tentang pria dan wanita. Agape, storge, phile, dan eros sepadan dengan kata cinta dalam bahasa Indonesia tetapi penggunaan kata-kata tersebut sangatlah kontekstual; cinta yang ditujukan pada sesuatu yang supranatural, keluarga/kerabat, benda, dan lawan jenis. Pada saat ini definisi cinta yang akan kita bahasa khusus hanya pada cinta dalam pengertian eros.
Cinta (eros) adalah kondisi perasaan yang melibatkan hasrat seksual sebagai kebutuhan biologis dan psikologis manusia. Tetapi konsep ini dikaburkan dengan ungkapan bahwa cinta jenis ini tak terjelaskan ketika dia muncul. Sebenarnya itu hanya untuk menghindari tuduhan bahwa perasaannya itu asusila atau bertentangan dengan moralitas. Seksualitas tidak seharusnya kita identikkan dengan kegiatan bersenggama atau penetrasi. Menurut bapak psikoanalisis (Sigmund Freud) seksualitas tidak hanya dimulai pada umur belasan atau pada tahap genital manusia tetapi telah dimulai sejak masih bayi.
Ketika orang jatuh cinta ada sekumpulan hasrat dan perasaan tak terjelaskan sehingga mereka hanya bisa berkata bahwa mereka sangat mencintai seseorang itu. Hasrat ini yang mendorong seseorang untuk mengorbankan apa saja demi cinta.
      II.            PATRIARKI DAN PENINDASAN PEREMPUAN
Sebagian besar budaya dunia didominasi oleh patriarki; bukan hanya garis keturunan yang ditentukan oleh pria (patrilineal) tetapi konsep keagamaan dan kenegaraan ditentukan oleh kaum pria. Misalnya tuhan diidentikkan dengan maskulinitas dan pemimpin-pemimpin didominasi oleh kaum pria.
Budaya patriariki menciptakan berbagai mitos tentang perempuan dan yang paling umum perempuan adalah makhluk lemah, emosional, dan ditakdirkan kerja di dapur mengurusi rumah tangga dan anak. Memang umumnya perempuan sekarang terlihat seperti itu tetapi kondisi perempuan sekarang ini ditentukan oleh evolusi sosial yang sangat dipengaruhi oleh munculnya budaya patriarki. Seakan-akan kondisi perempuan sekarang adalah takdir kolektif mereka dan tidak bisa diubah. Padahal kondisi sekarang ini telah melalui proses srukturasi sosial yang begitu panjang.
Panter
Pada awalnya pria dan wanita memiliki kekuatan sama dan bekerja menggunakan alat-alat produksi yang sama pula. Ketika wanita mengalami menstruasi, hamil, dan menyusui maka produktivitas kerja mereka terhenti. Ketika ini pula kaum pria mengusai alat-alat produksi dan menempatkan wanita pada kerja-kerja ringan. Secara biologis wanita lemah bukan karena takdir tetapi oleh karena kesempatan kerjanya berkurang. Hal ini terbukti ketika kita membandingkan masyarakat desa dan perkotaan. Masyarakat desa terbiasa dengan kerja-kerja berat sementara masyarakat kota tidak. Orang-orang yang terbiasa dengan kerja-kerja ringan akan sangat sulit ketika tiba-tiba dihadapkan pada kerja yang tingkat beratnya di luar kebiasaan. Wanita mengalami hal yang sama, ketika mereka terbiasa dengan kerja-kerja ringan maka otot-otot mereka menyusut. Jadi sebenarnya wanita lemah bukan berarti mereka tidak akan bisa mengerjakan kerja-kerja yang dilakukan oleh pria tetapi karena tidak terbiasa melakukannya.
Mitos kedua adalah wanita adalah makhluk emosional sementara pria adalah makhluk logikal atau rasional sehingga yang harus mengatur masyarakat haruslah pria. Tetapi sebenarnya yang pertama kali mengunakan akalnya dalam peradaban manusia adalah wanita. Ketika melahirkan wanita yang pertama kali berpikir untuk melindungi bayinya dengan sesuatu yang hangat, menemukan obat-obatan, dan api. Ini didorong oleh prinsip ‘survival of the fittest’ atau ‘struggle of existence’ untuk melindungi keturunan dan kontinuitas spesies. Mitos bahwa wanita adalah makhluk emosional telah terbukti tidak benar dengan lahirnya pemimpin-pemimpin wanita yang tangguh seperti Jean d’Arc, Margareth Thatcher, Golda Meir dan perjuangan hak-hak kaum gay/ homosesks yang mengaku diri mereka secara psikologis adalah perempuan; mereka sangat emosional.
    III.            ROMANTISME
Abad romantisme membuat banyak konsepsi tentang cinta yang sangat abstrak dan idealistis bagi manusia. Sastra-satra didominasi oleh kisah heroik tentang cinta yang menyangkut perjuangan dan pendobrakan tatanan sosial yang didorong oleh semangat cinta. Cinta telah menjadi identik dengan pengorbanan, kesetiaan, dan mampu mengalahkan segalanya sehingga manusia telah percaya bahwa cinta sejati seperti dalam karya sastra dan film benar-benar ada.
Tetapi ada juga sebagian sastrawan yang beraliran realis yang menggambarkan bahwa konsepsi cinta sejati pada kenyataannya tidaklah ada. Saya ingin mengutib beberapa lirik lagu seperti “love is one big illusion” (MLTR), “love hurts…love is just a lie” (Nazareth), “cause nothing last forever and we both know heart can change” (Guns and Roses). Semua lagu itu memberikan penyadaran bahwa cinta hanya akan berakhir pada pengkhianatan dan penyesalan. Mungkin konsepsi ini juga sejalan dengan ungkapan dalam The Holy Bible yang berkata “tidak ada yang sempurna, seorang pun tidak”. Setiap janji dan komitmen tidak seorang pun yang menjalankannya secara sempurna.
Memang pada kenyataannya masyarakat telah dininanbobokan dengan konsepsi cinta yang begitu idealistis. Kampanye-kampanye cinta memang dibantu oleh media massa dan media elektronik sehingga masyarakat kita yang cenderung konsumeris telah menelan mentah-mentah konsepsi cinta seperti itu. Umumnya manusia usia belasan yang menjadi korban cinta karena mereka telah diindoktrinasi oleh lagu-lagu dan film-film drama romantik yang membuat mereka mengidentifikasikan diri dalam kepolosan.
    IV.            CINTA DAN LEGITIMASI
Dengan konsepsi cinta manusia rela berkorban oleh karena satu keyakinan bahwa cinta sejati memang ada. Mereka sanggup menerima segala konsekuensi oleh karena cinta yang mereka anggap tulus. Ayat-ayat cinta adalah mantra-mantra yang bisa menghipnosis siapa saja dan itu dianggap sangat normal. Kita memang sedang hidup di zaman gombalisasi dan masyarakat kita terhipnosis oleh media sehingga cara berpikir, berperilaku, gaya pakaian, dan pola makan kita disesuaikan dengan apa yang lagi tren.
Tak heran sekarang ini cinta telah melegitimasi seks di usia dini, seks di luar nikah, dan praktik aborsi. Kata-kata cinta telah menjadi standar ketulusan untuk melakukan hal-hal yang sangat menyimpang dari norma-norma sosial dan agama. Terlalu banyak orang yang beriman tetapi tak mampu menahan nafsu mereka. Atas nama cinta manusia rela mengkhianati kepercayaan mereka dan meninggalkan keluarga, sahabat, dan bangsa mereka sendiri.
Cinta juga telah menjadi alat legitimasi yang sangat kuat dalam menunjang produk-produk kapitalisme. Seperti iklan-iklan parfum, bedak, mobil, motor, dan yang lain sehingga cinta telah menjadi mediasi dalam melakukan misi pembodohan masyarakat. Masyarakat kita yang masih kurang dewasa telah menjadi korban pembodohan yang tersistematis dari para kaum kapitalis. Kita perlu kesadaran dalam hidup karena memang banyak manusia yang hidup dengan naluri dan mengabaikan identitasnya sebagai homo sapiens.
      V.            KE ARAH PERUBAHAN
Emansipasi untuk kaum perempuan belum terlalu kentara khususnya di dunia timur oleh karena praktik poligami, KDRT, dan trafficking masih berlaku. Memang pada dasarnya kesadaran akan eksploitasi terhadap kaum perempuan masih kurang di masyarakat kita dan lebih banyak wanita telah menyenangi keadaan yang telah terkondisikan bagi mereka. Pergerakan penyadaran tentang ekploitasi kaum perempuan seharusnya bukan hanya oleh kaum perempuan saja tetapi oleh lelaki juga dan menggabungkan diri dalam perjuangan feminisme.
Perempuan harus berani tampil sebagai pemimpin dan menghancurkan segala mitos tentang dirinya. Mereka harus berani menyatakan bahwa mereka bukan objek seksualitas atau derajatnya lebih rendah dari kaum laki-laki. Perempuan harus mengisi fungsi sosial dalam semua bidang sehingga mitis tentang kekhususan kerja yang telah ditakdirkan menjadi terbantahkan. Perempuan tidak seharusnya menerima hal yang telah terkondisikan pada diri mereka tetapi juga harus lebih aktif dalam upaya menyamakan hak-hak kemanusiaan mereka.

TUMONDEI[1] SEJARAH


(sebuah kritik)
Tim tari Sanggar Tumondei
                Setelah membaca tulisan Fredi S Wowor[2] berjudul Mencari Jati Diri yang dimuat Harian Media Sulut edisi Rabu 24 Oktober 2012 aku teringat di tahun yang lalu aku dan seorang teman (Junaidi Rawis) juga mendapati buku yang berjudul Asal Usul/Arti Nama-nama Kampung di Tanah Toar Lumimuut[3]. Kami juga bergegas mencari arti dari nama kampung kami masing-masing. “Tondei  ~ diambil dari nama jenis tamate atau tomat yang buahnya berbentuk tondei (lonjong) / tidak bulat (cardiopteris moluccana). Ini merupakan jenis tomat yang dibawa  Spanyol dari Maluku ; Pontak ~ (pentak, lepo, depo = lumpur). Tempat basah berair yang dipilih Spanyol abad – 17 untuk menanam padi sawah. Jenis padinya dari Filipina, karena Minahasa belum mengenal padi sawah. Lisung menumbuk padi periode pendudukan spanyol masih ada di negeri pontak.”  Dalam pikiran kami ada kejanggalan dan ‘rasa tersinggung’ ketika membaca arti dari kedua nama kampung tersebut. Oleh karena sebenarnya kami mengetahui arti nama kampung kami masing-masing dari cerita atau tradisi lisan dari orang tua maupun tua-tua desa.
                Oleh karena peristiwa kami secara tak langsung termotivasi untuk mencari kebenaran dan arti nama kampung kami masing-masing. Sehingga yang menjadi topik pembicaraan dan kegiatan kami selalu berkaitan dengan budaya Minahasa dan desa kami khususnya. Hampir semua orang yang kami temui waktu itu kami mintai keterangan tentang apa yang mereka ketahui mengenai sejarah desa atau tempat-tempat yang berhubungan dengan kebudayaan Minahasa.  Akhirnya setelah melakukan ekspedisi kami menjumpai beberapa tua-tua kampung dan juga mendapat buku-buku tentang sejarah desa.
Sejarah desa Pontak yang dibuat dalam bentuk ukiran gambar
                Dalam buku Sejarah Desa Tondei[4] yang ditulis oleh Ny. A. J. Bujung- Moningka diterangkan bahwa awalnya desa Tondei disebut orang tinondeian yang artinya dicari kembali. Oleh karena di abad – 17 ketika terjadi perang antara Tontemboan dengan Mongondow daerah ini sudah pernah didirikan perkampungan yang bernama mawale dan akhirnya ditinggalkan. Begitu juga dengan buku yang disusun oleh Arnold J. Masinambow yang berjudul Apo’ Masinambow dan Keturunannya[5] yang sedikit menyentil tentang arti nama Pontak; pontak berasal dari kata ‘’ PONTAR ’’ ASE KAYU ‘‘ NIETAKAN ‘’ TINAMI I APO MASINAMBOW ‘‘ NIONTAKAN ‘’ diangkat/digabung menjadi satu kata yang asalnya dari kata-kata : PINONTAR –ETAK – ONTAK menjadi ‘’PINONTAKAN’’ lalu menjadi ‘’PONTAK’’ artinya ‘’TANDA’’.
                Dalam buku yang ditulis oleh Jessy Wenas dan Djery Warokka juga dijabarkan arti nama kampung Picuan, Wuwuk, dan Poigar. “Picuan ~ jerat penangkap tikus di hutan berupa tali dan kayu pegas (woran),  di letakkan di jalur tempat tikus hutan mondar-mandir… Wuwuk ~ (wu’uk = rambut) negeri ini diambil dari pohon cemara rambut (canarium casuarina)  yang daunnya seperti bulu burung kasuari… Poigar ~ (poikan, pocan = tuturuga, penyu)…” Karena rasa penasaran aku juga sempat menanyakan dan mendapat sedikit informasi mengenai arti nama-nama kampung ini. Menurut keterangan warga  sendiri Picuan asal katanya dari pinekuan yang artinya da patah akang atau ditandai. Wuwuk (wuwukeng) atau fufu artinya pengasapan. Semasa terjadi perang dengan Mongondow desa Wuwuk adalah tempat pertahanan. Para apo melakukan kegiatan mengasa pengetahuan (wentel) untuk menghalau orang Mongondow yang telah sampai di Pinamorongan[6]. Poigar berasal dari kata poyar yang artinya pagar atau batas[7]. Poigar adalah wilayah perbatasan dengan Mongondow makanya ada Poigar Minahasa dan Poigar Mongondow.
Iswan Sual dan batu lisung di Raanan Baru
                Dalam hal ini tidak diketahui pendekatan apa yang digunakan oleh J. Wenas & Dj. Warokka dalam menjabarkan pengertian nama-nama kampung tersebut. Tetapi arti nama-nama kampung yang sudah saya jelaskan di atas tampaknya lebih ke pendekatan etimologi[8]. Etimologi adalah penyelidikan mengenai asal usul kata serta perubahan dalam bentuk dan makna[9]. Memang dalam nama-nama kampung yang ada di Minahasa bisa diartikan secara denotatif tetapi tidak seharusnya digeneralisir untuk nama-nama kampung lainnya. Saya juga pernah terlibat diskusi dengan Arie Tulus[10] dan saya menyampaikan keberatan saya tentang arti nama Tondei yang dimuat dalam buku Asal Usul/Arti Nama-nama Kampung di Tanah Toar Lumimuut dan saya menjelaskan arti sebenarnya menurut versi orang Tondei sendiri. Arie Tulus mengatakan pada saya waktu itu bahwa saya harus menolerir penulisan buku itu karena maklum penulisnya berasal dari Tombulu sehingga ditulis berdasarkan versi Tombulu.
                Diskursus ilmiah sebenarnya tidak mengenal toleransi oleh karena ilmu pengetahuan selalu diupayakan agar bebas nilai. Ilmu pengetahuan selalu dialektis dan harus dibebaskan dari persoalan sentimen status sosial. Saya pikir usaha yang harus kita lakukan adalah rekoleksi dan rekonstruksi sejarah dan kebudayaan Minahasa. Bahkan pun kita perlu dekonstruksi agar kita tidak terjebak pada chauvinisme. Upaya yang sudah dilakukan oleh para pendahulu dalam dalam menulis dan mempertahankan budaya Minahasa patut diapresisasi tetapi kemudian kita tidak seharusnya mengesampingkan kaidah ilmiah.
                Saya berharap jika suatu waktu tulisan tentang sejarah dan kebudayaan Minahasa dimasukkan dalam pendidikan formal negara pada saat itu proses rekoleksi, rekonstruksi, dan dekonstruksi  telah berjalan sebagaimana mestinya. Agar informasi tentang jati diri kita sangat akurat dan objektif sehingga tidak ada pembohongan sejarah yang diwariskan untuk generasi selanjutnya. Sebab pembohongan sejarah adalah keji dan sangat tidak berperikemanusiaan.


[1] Tumondei dalam bahasa tontemboan artinya mencari kembali.
[2] Sastrawan dan dosen di Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi.
[3] Jessy Wenas & Djerry Warokka. Asal usul/arti Nama-nama Kampung di Tanah Toar lumimuut. Jakarta. Institut Seni Budaya Sulawesi Utara. 2010.
[4] Ny. A. J. Bujung-Moningka. Sejarah Desa Tondei, Keadaan Sampai Tahun 1989. Ditulis kembali oleh Cyrtje A. C. Bujung dan diterbitkan oleh KSMT dan STMS pada tahun 2012.
[5] Arnold J. Masinambow. Apo’ Lukas Masinambow dan Keturunannya. Jakarta. PT Dahan Elok. 1987.
[6] Pinamorongan berasal dari kata porong. Porong adalah topi yang digunakan oleh orang-orang Mongondow waktu itu.
[7] Informasi ini diperoleh dari Dilan Rumajar mahasiswa asal Poigar Minahasa.
[8] Menurut saya ada kontradiksi antara judul buku dan penjabaran menganai nama-nama kampung yang sudah saya jelaskan. Judul buku dimulai dengan kata ‘asal usul’ jadi seharusnya ada penelitiannya harus bersentuhan langsung dengan masyarakat yang mendiami kampung tersebut dan tidak hanya menjabarkan secara denotatif.
[9] Harimurti Kridalaksana. Kamus Linguistik. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 1993
[10] Dosen di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Manado.