halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Kamis, 23 Agustus 2012

PERTAMBANGAN RAKYAT DAN CITA-CITA NASIONAL

 (Sebuah paradigma terhadap persoalan sosial di Kecamatan Motoling Timur)
Oleh
Iswadi Indra Iskandar Komodor Sual
        I.            PENDAHULUAN
Dalam sejarah manusia, kesejahteraan (welfare) merupakan cita-cita semua bangsa yang ada di bumi. Tetapi setiap bangsa mempunyai perspektif dan strategi berbeda untuk mewujudkan kesejahteraan itu sesuai dengan keadaan objektif kondisi masyarakatnya. Dialektika sosial secara historis telah membuktikan bahwa perang antar etnis, kolonisasi, dan ekspansi adalah upaya untuk menciptakan kesejahteraan bangsa. Etnosentrisme atau ego suatu bangsa mendominasi pemikiran elite-elite politik sehingga mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Inilah yang kemudian menjadi dasar semangat imperialisme dan juga pecahnya perang dunia.
Polisi saat berada di Picuan pada 26 Mei 2012
Bangsa Indonesia mempunyai Pancasila sebagai filosofische grondslag untuk mewujudkan kesejahterannya.  Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda dengan bangsa lain dalam perspektif dan strategi untuk mewujudkan kesejahteraan. Kesejahteraan adalah kondisi berdaulat, aman, adil dan makmur sebagai cita-cita nasional Indonesia.Tetapi dalam kondisi sekarang ini kita menemukan banyak kontradiksi dalam peraturan perundang-undangan, praktik kebijakan pemerintah dengan dasar negara yang telah dirumuskan oleh para founding fathers kita. Yang diberi kenyamanan justru adalah pemodal dan mereka yang tingkat ekonominya menengah ke atas. Sehingga menjadi sangat kabur mengenai tujuan pembangunan nasional tentang apa sebenarnya yang akan dibangun; apakah rakyatnya, pemodal (asing), atau pemerintah membangun dirinya sendiri.
Rakyat kecil menjadi korban dari kebijakan pemerintah yang sama sekali mengabaikan prinsip demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Ini memang dikarenakan kader-kader bangsa kita tidak memiliki semangat Pancasila dan UUD 1945. Sebagian besar generasi yang memimpin sekarang sangat individualistis dan tidak paham betul dengan filosofi negara ini.Bahkan pun produk-produk lembaga pendidikan tidak kalah individualistisnya. Para sarjana tidak memiliki jiwa sosial tetapi mengabdikan pengetahuannya pada kesejahteraan pribadi dan keluarga walaupun menggunakan cara-cara yang tidak sehat dan merugikan banyak orang. Bukankah itu merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita pendidikan nasional?
Masyarakat bukan lagi menjadi prioritas pembangunan nasional tetapi sengaja dikorbankan untuk kepentingan pemodal.Kita bisa melihat di berbagai daerah terjadi perlawanan rakyat terhadap kebijakan pemerintah oleh karena pemodal lebih diberikan perhatian dan ruang daripada masyarakat sendiri.Kekayaan alam kita diberikan kepada perusahaan swasta dengan dalih sebagai strategi pembangunan melalui investasi.Seharusnya kekayaan alam kita dikerjakan oleh kita sendiri dan untuk kesejahteraan kita sendiri.Pajak, restribusi, dan royalty yang dipungut oleh negara pada perusahan-perusahan swasta disalurkan dengan prinsip segitiga terbalik.Dana negara dikebiri secara procedural dan sesuai pangkat sehingga rakyat hanya menerima sedikit saja dari hasil kekayaan alam. Bukankah ini pengkhianatan terhadap cita-cita nasional?
      II.            PANCASILA, UUD 1945, DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Setiap negara mempunyai filosofi atau dasar pemikiran tentang mengapa dan bagaimana mereka harus hidup dalam negara yang berdaulat. Tetapi kita Negara Indonesia sebagai suatu system telah hancur de facto. Dalam doktrin kenegaraan bahwa negara sebagai suatu sistem adalah alat untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.Pancasila dan UUD 1945 merupakan acuan kita untuk hidup berbangsa dan bernegara. Tetapi sampai hari ini Indonesia untuk hanya de jure oleh karena ruh integritas kita telah didestruksi oleh penyelenggara pemerintahan yang tidak mengemban cita-cita nasional. Pemerintah kita hari ini tidak lagi dalam posisi sebagai penguasa yang mengatur negara sesuai dengan amanat cita-cita nasional tetapi telah menjadi pengarah acara bagi pemodal dan neo-kolinialis[1].
Dalam konsep geostrategi Indonesia ada istilah astagatra yang terdiri dari :
1.       Trigatra
·         Geografi
·         Sumber daya alam
·         Kependudukan
2.       Pancagatra
·         Ideologi
·         Politik
·         Ekonomi
·         Sosial/budaya
·         Pertahanan dan keamanan
Dalam trigatra pentingnya wilayah, sumber daya alam, dan masyarakat dalam suatu negara sebagai anasir dasar. Kemudian dalam pancagatra anasir ideologi, politik, ekonomi, sosial/budaya, pertahanan dan keamanan juga adalah anasir penting dalam mewujudkan sebuah negara yang berdaulat yang mampu menjamin kesejahteraan sosial. Dalam konsep geostrategic ini Indonesia sangat lemah hampir semua dalam anasir yang termasuk dalam pancagatra.
Ideologi. Di Indonesia setelah kejatuhan Soekarno, ideologi menjadi istilah yang tabu karena sering diidentikan dengan diskursus komunisme sehingga generasi orde baru menjadi sangat dekaden. Pancasila sebagai ideologi negara menjadi doktrin kaku dan tidak dijiwai oleh warga negara.Yang paling banter adalah pemerintah sendiri tidak mengerti secara jelas tentang Pancasila sebagai ideologi negara. UUD 1945 yang merupakan pengejahwantahan dari Pancasila sekarang ini pun terabaikan bahkan berusaha diamandemen disesuaikan dengan kepentingan ekonomi kapitalis. Pendidikan pun sampai hari ini tidak menjadi solusi oleh karena pendidikan kita lebih mengabdi pada kepentingan kapitalisme.
Politik. Sampai hari ini kita masih susah mendapat pemimpin yang bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme oleh karena kader-kader bangsa kita sama sekali tidak memiliki semangat Pancasila dan UUD 1945. Kesemarautan praktik politik dan orientasi profit pribadi adalah semangat politisi kita. Etos politik di Indonesia lebih didominasi oleh semangat individualistis dan akumulasi modal. Kebijakan pemerintah selalu memproteksi kepentingan pemodal daripada rakyat kecil.Itu karena ideology para politisi kita adalah uang semata dan tak punya panggilan jiwa untuk melayani negara.
Ekonomi. Pasal 33 UUD 1945 adalah penjabaran sila kelima Pancasila sebagai landasan ekonomi Indonesia.Sumber daya alam negara yang begitu kaya harus dimanfaatkan sebaiknya untuk kejateraan sosial tetapi sampai hari ini kita belum bisa mencapai kesejahteraan sesuai dengan cita-cita nasional.Hampir semua kekayaan alam kita telah diserahkan ke pihak asing dan pemodal sementara rakyat tidak mendapat kesejahteraan yang sesuai. Pajak yang diambil dari perusahan-perusahan swasta dan perusahan-perusahan asing oleh negara disalurkan dengan model segitiga terbalik.
Sosial/budaya. Masyarakat Indonesia sampai hari ini identitasnya terus digerogoti oleh karena tidak memiliki landasan pemikiran yang jelas (ideologi), jaminan kesejahteraan sosial tidak tepat sasaran (politik), masyarakat hidup di bawah sistem ekonomi (de facto) yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945[2]. Masyarakat Indonesia cenderung menjadi bangsa yang hampir melupakan sejarahnya sendiri sebagai bangsa yang kuat yang memiliki kebudayaan. Epigonisme terhadap kebudayaan Barat telah merasuki masyrakat kita oleh karena tak adanya keleluasaan kita mengakses ‘diri kita sendiri’.
Pertahanan dan keamanan.Muncul terminologi bahwa polisi dan tentara kita hari ini adalah penjaga kepentingan pemodal. Ancaman dari luar saja belum bisa disikapi dengan tegas karena peralatan militer kita yang mungkin belum memenuhi syarat. Jadinya prajurit nasional dibentuk untuk menembak rakyatnya sendiri dengan dalih ‘hanya menjalankan perintah’.Seakan kita telah kembali ke zaman penjajahan dengan bentuk koloni-nasional – bentuk penjajahan oleh bangsa kita sendiri.
                Kita bisa mengevaluasi bahwa anasir-anasir di atas sungguh sangat berantakan dan ini tak memungkinkan terwujudnya cita-cita nasional. Jika kita kembali ke dasar negara kita (Pancasila dan UUD 1945) dan menjadikan itu sebagai semangat hidup berbangsa dan bernegara maka cita-cita nasional akan mudah dicapai. Tetapi selama kita mengabaikannya maka kita tak akan pernah menggapai harapan dari leluhur sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, adil, dan makmur.
    III.            PERTAMBANGAN RAKYAT SEBAGAI WUJUD DEMOKRASI EKONOMI
Pemerintah selalu menggunakan alibi bahwa kenapa kekayaan alam kita harus diserahkan pada pihak swasta oleh karena kita belum memiliki teknologi dan tenaga ahli untuk mengelola kekayaan alam kita sendiri. Ada juga alibi seperti investasi adalah solusi percepatan  pembangunan nasional. Pemerintah kita terlalu buru-buru dalam pembangunan terlebih dalam masalah sumber daya alam. Dengan begitu hampir seluruh tambang (SDA) telah dipegang oleh perusahan-perusahan asing. Pada kenyataannya, para politisi dan kaum kapitalis semakin kaya dan rakyat kecil tetap stagnan dalam kemiskinan.
Pendidikan kita tidak sesuai dengan kebutuhan nasional tetapi lebih sesuai dengan kebutuhan kaum pemodal. Kalau memang kita belum memiliki teknologi dan tenaga ahli untuk mengolah kekayaan alam kita mengapa tidak diprogramkan untuk meningkatkan kulaitas pendidikan dan mengembangkan pendidikan di bidang pertambangan, pertanian, dan teknologi. Dengan begitu kita sendiri yang akan mengolah kekayaan alam negara dan semuanya itu untuk kesejahteraan rakyat. Sudah menjadi tugas pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan memproduksi tenaga-tenaga ahli dan bukannya membuat rakyat menjadi kuli di negara yang kaya akan sumber daya alam.
Rakyat harus dididik untuk mengusahakn kekayaan alam negara (pertambangan rakyat) bukannya ditekan dan diteror. Hampir semua pertambangan yang dipegang oleh perusahan swasta tidak menjamin kesejateraan rakyat secara merata, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan. Dalam praktik kapitalisme, moral selalu diabaikan dan keuntungan yang paling diutamakan. Janji-janji kesejahteraan dan pemeliharaan lingkungan adalah umbaran kosong yang tidak kunjung akan datang.
Pertambangan yang diusahakan oleh rakyat adalah kesejahteraan yang nyata daripada yang dikelola oleh perusahan swasta. Tetapi pemerintah juga harus pro-aktif membimbing rakyat dalam menjalankan ekonomi terlebih dalam mengelola sumber daya alam yang menghasilkan limbah.Rakyat harus diberi pendidikan untuk mengatur ekonominya sendiri sehingga rakyat menjadi prioritas pembangunan (center-interest). Dengan begitu masyarakat tak harus dikorbankan demi kepentingan kaum pemodal.Prinsipnya adalah demokrasi ekonomi yang menjamin kesejahteraan rakyat secara menyeluruh dan berkelanjutan.
    IV.            SUMBER KONFLIK PERTAMBANGAN DI KECAMATAN MOTOLING TIMUR
1.       PENGABAIAN PRINSIP DEMOKRASI EKONOMI
Keluhan rakyat selalu pada persoalan keadilan dan kesejahteraan yang benar-benar nyata. Pemerintah harusnya meminta kesepakatan dari rakyat dan bukan hanya melakukan sosialisasi[3]. Sesuai dengan prinsip demokrasi ekonomi rakyat harus dijadikan subjek dalam pembangunan nasional dan bukan objek. Artinya rakyat bukanlah benda mati atau ternak yang digembalakan sehingga keputusan waktu makan dan minum selalu ditetapkan oleh gembalanya. Negara kita memiliki asas demokrasi sebagai landasan untuk mengambil keputusan.
2.       KAUM PARASIT DAN 'INVISIBLEHAND'
Adanya oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan situasi untuk mencari keuntungan dan ada tangan yang tidak terlihat dalam mengelola konflik. Strategi dan taktik memecah belah, menebarkan isu untuk membangun ketidakpercayaan satu sama lain, teror, dan politik uang.
3.       PERAN MEDIA
Ketidakakuratan data dan ketidakobjektivan data yang diberitakan oleh media membuat masalah menjadi simpang siur dan tak jelas. Ini kemudian menimbulkan pencitraan yang sangat buruk terhadap masyarakat penolak perusahan tambang. Pemberitaan yang terlalu memberatkan dan ada media yang sengaja tidak mau menulis apa yang sebenarnya. Pencitraan terhadap diri yang dilakukan oleh orang lain dengan maksud memburuk-burukan akan menimbulkan amarah dari oknum terkait. Apalagi kalau citra yang sengaja diburuk-burukan itu tentang identitas kolektif; jelas itu akan mendorong solidaritas mekanis.
      V.            SOLUSI
Untuk menciptakan situasi yang kondusif di kecamatan Motoling Timur maka seharusnya pemerintah harus lebih progresif dan merakyat dalam menjalankan kerja-kerjanya.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Minahasa Selatan dan Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan harus lebih memperhatikan asas demokrasi untuk melihat persoalan yang terJadi di daerahnya. Tidak harusnya pemerintah hanya mendengarkan informasi sepihak yang kemudian dijadikan alibi dan mengeliminir suara rakyat yang lain. Pemerintah  sebaiknya melakukan gerakan turun langsung ke masyarakat (gerakan turun ke bawah) untuk mendiagnosa konflik atau persoalan yang sedang terjadi dan tidak hanya berdiam terus di kantor-kantor. Harusnya ada analisa yang sistemik, holistik, dan objektif terhadap persoalan pertambangan di kecamatan Motoling Timur.
1.       ASAS DEMOKRASI
Masyarakat harus diberikan kebebasan untuk mengeluarkan pendapatnya mengenai kebijakan pemerintah yang dipandang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan mengabaikan anasir-anasir substansial lainnya. Di desa ada DPD yang bisa digunakan untuk mendiagnosa kebutuhan masyarakat dan aspirasi masyarakat terkait persolan yang sedang berkembang[4]. Harus disadari bahwa ada oknum-oknum tertentu yang berbicara atas nama rakyat tapi sebenarnya tidak pernah mengakomodir aspirasi masyarakat lewat musyawarah.
2.       REFERENDUM
Dewan Perwakilan Rakyat seharusnya membuat angket atau kuesioner untuk mengetahui presentase warga yang menolak operasi pertambangan yang dipegang oleh perusahan asing atau perusahan lainnya yang bukan didirikan oleh pemerintah daerah atau desa setempat. Atau Dewan Perwakilan Rakyat seharusnya turun langsung ke masyarakat dan berdialog (vis a vis) menanyakan secara langsung pada masyarakat mengenai persoalan yang sedang berkembang[5].
3.       PEMBENTUKAN KOPERASI
Sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 bahwa perekonomian disusun secara bersama dengan asas kekeluargaan. Maka pertambangan emas di kecamatan Motoling Timur harusnya dibentuk koperasi desa sebagai usaha bersama dan dilegalisir untuk ijin produksi. Ini yang lebih dekat dengan cita-cita nasional sebagai bentuk ekonomi yang merakyat. Ekonomi yang melibatkan rakyat dan mensejahterakan rakyat.
    VI.        


[1] Dalam Kompas edisi Senin, 2 Januari 2012 Sri-Edi Swasono (Guru Besar Fakultas Ekonomi UI) menulis artikel dengan judul Pasal 33, Freeport, dan Papua; dia menggambarkan bahwa pemerintah kita lebih mirip sebagai Master of Ceremony yang melayani pemodal asing dengan daftar Sumber Daya Alam Indonesia.
[2]Pancasila mengandung prinsip sosialisme dalam sila kelima dan juga dalam pasal 33 UUD 1945 untuk menjamin kesejahteraan sosial dengan memanfaatkan kekayaan alam negara.
[3] Sosialisasi sifatnya hanya mengumumkan dan bukan meminta kesepakatan; ini bukanlah demokrasi.
[4] Sangat disayangkan ketika LMND berusaha untuk membantu masyarakat menegakkan prinsip demokrasi lewat rapat-rapat desa malah dituduh sebagai upaya profokasi dan dijadikan target operasi polisi.
[5]Dewan Perwakilan Rakyat kita cenderung eksklusif dan tidak mau juga tidak berani berhadapan dengan rakyatnya sendiri.

Selasa, 21 Agustus 2012

FILM SANUBARI JAKARTA DAN NOVEL ‘TINONDEIAN’ KARYA ISWAN SUAL

dari kiri : Gia Partawinata, Lola Amaria, Iswan Sual, Dimas Hary CSP
Sebuah laporan kegiatan
Jakarta 26 Juni 2012 (sekitar pukul 12.00), saya dan Arif Fachrudin Ahmad (Ketua Umum Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi) menuju kantor Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menemui Reza dan Iwan Dwi Laksono. Sehari sebelumnya saya mengikuti Seminar Nasional dengan tema Pancasila dan UUD 1945 Sebagai Dasar Persatuan Nasional Untuk Merebut Kembali Kedaulatan Bangsa yang diselenggarakan oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD) di hotel sahid Jakarta. Dengan pembicara Sri-Edi Swasono, Agus Priyono, Yudi Latif dan beberapa pembicara lainnya. Di kantor kementerian ini saya ditawarkan untuk mengatur acara nonton film bareng di Manado (yang sering disingkat nobar atau noreng) dan juga diskusi tentang Lesbian, Gay, Biseks, Trans-seksual/Trans gender (LGBT). Selanjutnya mas Reza memberi saya nomor kontak Dimas Hary CSP yang bertanggungjawab mengenai roadshow pemutaran film Sanubari Jakarta. Awalnya saya agak skeptic dengan kegiatan ini oleh karena audiens harus di atas seratus orang dan waktu mempersiapkan kegiatannya yang singkat; ditambah lagi situasi kampus yang sementara liburan membuat susah untuk mengakses teman-teman kampus untuk hadir dalam kegiatan ini. Saya sempat mengeluh ke mas Arif kalau saja kegiatannya dibuat di Tondano mungkin akan lebih gampang mengaturnya.
Sekitar pukul 15.00, saya bersama Jens Batara (Ketua LMND Makasar), dan Moelyadi (Ketua LMND Jawa Timur) dari Tebet (Jakarta Selatan) menuju Bandara Soekarno-Hatta. Di bandara kami sempat mendapati kawan Zimon (anggota LMND Kupang) yang bermasalah karena terlambat check in. tetapi kemudian dengan bantuan negosiasi dari kawan yadi maka akhirnya mendapat solusi. Saya kembali ke Manado dengan nomor penerbangan  JT 770 LION AIR dan tiba sekitar pukul 24.00. Setelah menunggu sekitar setengah jam saya kemudian dijemput oleh Satriano Pangkey dan kami mencari tempat makan sekaligus saya mendiskusikan kegiatan nonton bareng itu dengannya. Malam itu saya menginap di rumahnya di Jln. Sea Malalayang.
Hari berikutnya saya berangkat ke kampus (FBS UNIMA) untuk menemui beberapa organisasi untuk diajak dalam kegiatan ini. Tetapi karena situasi kampus yang lagi libur maka saya hanya bisa menemui beberapa orang saja yaitu Gempita Tamaka (Ketua DPM FBS Unima), Kerfil Umboh (Presiden Teater Ungu), dan Okthavia Gontha. Kami mendiskusikan tentang kegiatan ini di RM. Parakletos Tomohon dan akhirnya menyusun format acara dengan menyisipkan launching novel dalam acaranya. Pertimbangannya untuk mencapai audiens di atas seratus orang maka diperlukan acara yang menarik dan diminati; kebudayaan Minahasa kebetulan sangat marak dan menjadi focus para budayawan, aktifvis, dan juga politikus. Kemudian saya berangkat ke desa Tondei untuk mengkonfirmasi Iswan Sual yang sementara aktif menulis novel yang berkaitan dengan Gerakan Sastra Minahasa. Karyanya sudah sekitar dua puluh lebih yang terdiri dari kumpulan puisi, cerpen, dan novel; tetapi dia memilih novel Tinondeian sebagai karya pertama yang akan diterbitkan.
Selanjutnya saya menemui Abdurrahman (Ketua KAMMI cabang Tondano) untuk membantu kegiatan ini dengan mengundang semua elemen mahasiswa di Tondano baik intra maupun ekstra dalam kegiatan ini. Masalah pembuatan undangan dan id card saya serahkan pada Valentine Sumanti, Kerfil Umboh, Okthavia Gontha, dan Novinda Frandiani Manangkot. Sementara yang bertanggung jawab untuk undangan di wilayah kota Manado serta sponsor dan pemberitaan adalah Diena Mongdong dan Satriano Pangkey. Karena bertepatan dengan Piala Euro maka banyak tempat telah di-booking untuk noreng sehingga sangat sulit menemukan tempat. Maka dengan usulan Diena saya menghubungi Primy Siso (mantan Ketua S.S Tolu FBS UNIMA) dan kemudia sepakat menjadikan kafe-nya sebagai tempat kegiatan.
04 Juli 2012 (sekitar pukul 09.00), saya dan Jonathan Worotidjan dengan menggunakan mobil avanza new menuju Bandara Samratulangi untuk menjemput Dimas Hary CSP, Gia Partawinata, dan Lola Amaria. Setelah beberapa jam menunggu oleh karena waktu penerbangan pesawat delay akhirnya mereka tiba dan kami mengantarkan mereka ke hotel Formosa. Paginya Nathan dan Yano menemani Tim Film Sanubari Jakarta ini ke Tomohon untuk memotret beberapa pemandangan. Sekitar pukul 17.30 acara dimulai – Okthavia Gontha sebagai MC – dan diawali dengan launching novel Tinondean karya Iswan Sual. Acara ini dipandu oleh Primy Siso dan fasilitatornya Iswan Sual (penulis) serta Fredy Wowor (Budayawan Minahasa). Acara dilanjutkan dengan pementasan Teater Ungu yang berjudul Anima (sebuah naskah x-perimental karya Iswadi Sual). Kemudian dilanjutkan dengan pemutaran film sanubari Jakarta dan diskusi yang difasilitasi oleh Lola Amaria (produser,sutradara, aktris), Gia Partawinata (aktor), dan Dimas Hary CSP (aktor).
Acara ini dihadiri oleh pimpinan  Yayasan Pelita Kasih Abadi, Kamizama, S.S Tolu (FBS UNIMA), S.S Karema (FIS UNIMA), PMII cabang Tondano, Mawale Mouvement (diwakili oleh Sofyan Jimmy Yosadi), GWL Kawanua, dll.