halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Selasa, 06 Desember 2011

WAJAH MAHASISWA UNIMA BOPENG SEBELAH Sebuah Laporan Empiris


Ketika menulis saya mencoba untuk membandingkan masa di mana Soe Hok Gie[1] hidup  dengan apa yang terjadi sekarang ini. Dia menulis dalam sebuah koran waktu itu dengan judul Wajah Mahasiswa UI Bopeng Sebelah; Gie menggambarkan kondisi mahasiswa dan juga dosen yang telah menjadi apatis terhadap kedisiplinan, telah menjadi hedonis, dan tak peduli lagi dengan persoalan sosial. Katanya juga para wanita pada saat itu hanya pintar bersolek dan yang diurus hanya baju dan kecantikan. Saya merasa kondisi sosial pada waktu itu mirip dengan apa yang terjadi di UNIMA sekarang ini. Tetapi tulisan ini adalah upaya generalisasi dari keadaan yang dominan terjadi di universitas kita.
Pentas Teater Ungu di Stadion Maesa Tondano (dalam rangka HUT Minahasa)
                Meningkatnya jumlah mahasiwa di Universitas Negeri Manado bukanlah suatu hal yang perlu untuk dibanggakan. Karena itu bukanlah ukuran untuk menganggap bahwa kesadaran pendidikan sedang meningkat. Memang menjadi seorang mahasiswa saat ini telah merupakan tuntutan untuk mengangkat derajat sosial seseorang. Karena dalam pergaulan anak muda kuliah adalah sesuatu yang dianggap gaul. Lebih daripada itu mereka mengejar ijazah dan  penuh dengan manipulasi relasi sosial yang tak lain adalah nepotisme.
                Seperti dalam agama ketika ibadah telah menjadi rutinitas, doa menjadi mekanistik, perbuatan baik yang pamrih; begitu juga dalam dunia pendidikan. Saat ini kuliah adalah rutinitas yang sangat membosankan bagi mahasiswa maka tak jarang praktik ‘titip absen’ telah menjadi lumrah. Pengetahuan mereka  hanya seperti mesin yang hanya bisa digunakan dalam kondisi ujian semester dan sesudah itu tersimpan kembali dalam otak. Pengetahuan mereka cenderung tidak aplikatif dan hanya sekedar kebutuhan dalam ujian-ujian perkuliahan. Adapun ketika mereka mencoba menerapkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam masyarakat, tujuannya jelas adalah mencari keuntungan yang alias melakukan pembodohan. Saya pernah mendengar keterangan dari seorang teman saya ketika dia disuruh memperbaiki alat elektronik. Katanya dia mendapat untung yang besar karena sebenarnya kerusakan alat tersebut tidak separah apa yang dia terangkan pada pemilik. Menurutnya itu adalah strategi membuat ongkos kerjanya meningkat.
                Menurut saya ini adalah jenis pengkhianatan terhadap cita-cita pendidikan itu sendiri. Kita dididik untuk bicara benar, berlaku adil, dan hidup untuk menghidupkan orang lain. Tetapi hari ini kenyataan menunjukan hal yang lain. Para akademisi pandai berbohong, tidak adil, dan cenderung mengeksploitasi kehidupan orang lain. Unima telah memproduksi ribuan sarjana yang sebenarnya belum matang dan masih jauh daripada apa yang kita harapkan. Ibarat konstruksi bangunan jika campurannya tidak baik maka akan sangat membahayakan. Begitu juga ketika produk sarjana unima yang tidak matang akan menimbulkan masalah baru di masyarakat nanti karena tidak kompeten.
                Ada tiga hal krusial yang perlu kita bahas karena ini menurut saya adalah hal urgen yang sedang terjadi di universitas kita. Yang pertama adalah ketidakjelasan proses berpikir mahasiswa karena dibenturkan dengan paham konservatisme agama. Kedua, modernitas menjadi langkah mundur karena kita terjebak pada praktik konsumerisme. Ketiga, praktik imitasi pemahaman dan keterampilan.
A.      NALAR YANG DILEMATIS
Ilmu pengetahuan menuntut keterbukaan dan kebebasan untuk bereksperimen dalam dialektika pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Dia harus diberi ruang untuk mengembangkan dirinya sendiri dan harusnya bebas nilai. Karena pengekangan terhadap ilmu pengetahuan akan menjadikannya sesuatu yang statis.
Ketika kekristenan menguasai Eropa maka terjadi birokratisasi agama sehingga muncullah konvensi bahwa ilmu pengetahuan harus mengabdi pada agama. Artinya segala pemikiran dan penemuan tidak boleh bertentangan dengan kitab suci. Di akkhir abab pertengahan eropa memandang bahwa mereka telah terjebak pada konservatisme agama yang anti kemapanan (puritanisme). Mereka memandang bahwa agama telah menjadi penghalang kemajuan. Maka dengan diprakarsai oleh reformasi gereja muncullah gerakan lain (renaissance, aufklarung, enlightment) yang menentang otoritas gereja yang mengekang kebebasan berpikir dan bereksperimen. Dengan begitu Eropa mampu bangkit dan menjadi terdepan hampir di segala bidang.
Hal yang sama terjadi di Timur Tengah ketika Perang Salib usai maka terjadi birokratisasi agama dan fenomena yang sama dengan kekristenan terjadi pengekangan terhadap kebebasan berpikir dan bereksperimen[2]. Segala sesuatu tidak boleh bertentangan dengan kitab suci. Masyarakat islam pun menganggap ini akan mengakibatkan dekadensi karena mereka juga telah berkaca dari masyarakat Eropa tentang kemajuan pesat dalam bidang teknologi dan militer. Maka terjadi usaha-usaha reformasi untuk melepas otoritas keagamaan dalam ilmu pengetahuan di abad-18. Di Jepang dikenal dengan restorasi meiji sebagai upaya untuk terlepas dari konservtisme budaya dan keinginan untuk bersaing dengan bangsa lain.
Saya kira semua hal yang telah dikemukakan di atas telah diketahui dan ada dalam buku-buku teks di Sekolah Menengah Atas dan Perguruan Tinggi. Artinya, sejarah tentang perubahan dunia telah diketahui dan setidaknya itu menjadi preseden bagi kita untuk mengevaluasi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Tetapi pada kenyataannya memang ada kontradiksi dalam pendidikan kita yang memberi ambiguitas dalam alam berpikir mahasiswa.
Di Universitas Negeri Manado khususnya nalar mahasiswa dibatasi dengan segala macam suguhan dogma untuk menjauhi ilmu pengetahuan secara aktif. Karena menurut golongan tertentu (termasuk para dosen) terlalu jauh tenggelam dalam ilmu pengetahuan akan mengarahkan kita pada pengingkaran terhadap iman percaya. Makanya hal-hal seperti filsafat dan logika adalah hal yang perlu dijauhi. Berpikir kritis menjadi hal yang tabu di universitas kita karena berargumen juga dianggap sebagai sikap ‘tidak sopan’. Menurut mereka menghormati yang lebih tua adalah budaya yang harus tetap dijalankan walaupun mungkin yang lebih tua itu telah melakukan kesalahan. Saya juga melihat ketidakmampuan para dosen sering disembunyikan dalam kedisplinan semu untuk menciptakan suasana kelas yang kaku sehingga mahasiswa tak menjadi aktif. Itu karena ketika mahasiswa menjadi aktif dalam kelas maka itu akan menunjukkan ketidakmampuannya mengelola kelas dan  membuktikan rendahnya penguasaan materi.
Kita hanya sampai pada persoalan epistemologis tanpa ada perdebatan dan usaha memperbaharui ilmu pengetahuan yang sudah ada. Kita adalah masyarakat ilmiah yang sangat pasif karena segala penemuan selalu dari luar bangsa kita. Kita telah menjadi konsumen pasif yang telah terjebak dalam lingkaran setan. Sampai hari ini pendidikan kita masih terjebak pada konservatisnme agama dan budaya. Menurut saya semua hal ini adalah ironi, di satu sisi kita mengejar ilmu pengetahuan dan di satu sisi kita membatasinya.
B.      MODERNISME SEBAGAI LANGKAH MUNDUR
Modernisme yang kita anut sekarang ini adalah sebuah imitasi dengan kualitas yang sangat rendah karena kita telah diobok-obok oleh kebudayaan modern. Kita menerima modernisme karena kita yakin bahwa itu adalah sebuah langkah maju atau gerak peradaban dunia dan kita harus beradaptasi dengannya. Tetapi yang perlu kita sadari adalah gerak peradaban dunia bukan dikendalikan oleh kita; kita hanyalah korban dari arus modernisme dan kebanyakan dari kita hanya terjebak dalam gaya.
Masyarakat kita adalah masyarakat konsumeris yang pasif; mengkonsumsi semua produk modern tanpa mengetahui cara pembuatannya atau bagaimana mengembangkannya. Maka yang perlu disadari saat ini bahwa masyarakat kita telah mengalami ketergantungan terhadap produk-produk modern. Generasi kita tak bisa lagi hidup tanpa listrik, hanphone, laptop, internet, tv, motor, mobil, perhiasan, dan hal-hal lain yang telah melekat pada kehidupan kita. Saya tak bisa bayangkan bagaimana jadinya kalau negara kita diembargo dalam bidang teknologi. Mungkin masyarakat kita akan mengalami stress berat tanpa adanya teknologi. Ketergantungan kita terhadap produk modernism barat dimainkan pertama dalam pembentukan paradigma lewat media elektronik. Hipnosis media telah membentuk standarisasi-standarisasi mulai dari kecantikan sampai dengan apa yang seharusnya kita pakai. - (Saya teringat dengan sebuah lagu yang berjudul Crazy dari band yang bernama Simple Plan, dalam lagu tersebut mereka menggambarkan kondisi sosial yang diakibatkan oleh kapitalisme)-.
Kalau seandainya kita adalah produsen teknologi maka kita bisa menghindar dari tekanan yang diakibatkan oleh embargo teknologi dan setidaknya mempunyai posisi tawar secara ekonomi maupun politik. Kebijakan politik di Indonesia  selalu dipengaruhi oleh persoalan ekonomi internasional. Maka pemimpin kita selalu mengalami dilema untuk menegaskan pandangan politik yang berkarakteristik nusantara. Ancaman internasional selalu membayang-bayangi kebijakan politik negara kita. Tanpa adanya pengembangan ilmu pengetahuan maka kita terus akan menjadi konsumen modernisme.
Universitas Negeri Manado memiliki banyak mahasiwa yang pintar – pintar bergaya maksud saya. Hampir seluruhnya mengikuti budaya pop, punk, underground, dan tren lainnya yang menurut mereka bisa mengangkat derajat sosialnya supaya bisa diterima dalam pergaulan. Di Fakultas Bahasa dan Seni, sebagian besar mahasiswa jurusan Bahasa Inggris berusaha mengidentikan diri dengan orang Inggris, mahasiswa jurusan bahasa Prancis mengidentikan diri dengan orang Prancis, mahasiswa jurusan bahasa Jerman berusaha mengidentikan diri dengan orang Jerman, dan mahasiswa jurusan bahasa Jepang berusaha mengidentikan diri dengan orang Jepang, dan selebihnya mengikuti gaya Korea.  Saya pikir ini adalah tindakan pengkhianatan terhadap identitas kita yang sebenarnya. Secara tak langsung kita telah mengatakan bahwa identitas kita sebagai orang Minahasa, Talaud, Siaw, Ambon, Batak, Mongodouw, Bugis, dan Dayak tidak lagi relevan dan ketinggalan zaman. Padahal negara-negara maju mengangkat identitas mereka dari sebuah perjuangan kebudayaan; suatu usaha memperkenalkan budaya mereka di mata dunia. Dan kita hari ini telah memuja kebudayaan bangsa lain dan menginjak-injak budaya bangsa kita sendiri.
C.      EPIGONISME
Ada terminologi yang secara konvensional muncul dalam pikiran di kalangan kaum awam bahwa Barat adalah superior dan Timur adalah inferior. Segala sesuatu harus mengikuti pola dari Barat karena mereka adalah penggerak peradaban dunia. Kita orang Timur telah ditakdirkan menjadi manusia pasif, bodoh, dan selalu menunggu suapan dari Barat. Saya kira telah terbentuk paradigma berpikir dalam masyarakat kita bahwa kita adalah orang-orang yang ketinggalan dan harus senantiasa menyesuaikan dengan produk modernisme  barat.
Hari ini Indonesia membangga-banggakan beberapa hal yang dianggap suatu kemajuan yang dicapai. Dalam perfilman, animasi telah digunakan untuk mewujudkan hal-hal yang tak masuk di akal seperti ular raksasa atau monster. Tetapi animasi yang digunakan ketinggalan 20 tahun dari yang ada di Barat. Acara-acara TV seperti Kick Andy, Indonesian Idol, dan seleksi wanita tercantik merupakan jiplakan dari barat dan sangat berkesan bodoh. Saya pikir sampai hari ini kita terus maju tetapi selalu berada sepuluh langkah di belakang superioritas barat.
Di lembaga pendidikan kita tak ada hal baru yang berusaha diciptakan; kita hanya dipaksa belajar pada sesuatu yang mutlak. Teori-teori dari barat menjadi patokan ilmu pengetahuan dan jika ada upaya untuk mengembangkan maka kita akan dianggap sok pintar oleh dosen-dosen tertentu. Kita selalu akan menyesuaikan ketika teori-teori itu telah diperbaharui dari barat. Pemahaman kita terhadap segala sesuatu tetap saja tak lebih dari pemikiran-pemikiran yang ada di Eropa. Yang lebih parah ketika para mahasiswa UNIMA membuat tugas seperti makalah atau tugas lainnya yang menuntut untuk berpikir mandiri yang mereka lakukan adalah browsing data sebanyak mungkin di internet kemudian di copy lalu paste; tinggal diedit sedikit dan jadilah makalah yang katanya buatan mereka sendiri. Hari ini membuat tugas menjadi mudah tetapi kualitas berpikir makin menurun karena segala sesuatu hampir tersedia. Dan anehnya banyak dosen yang mengiyakan saja model pembuatan makalah semacam itu.
Sampai hari ini saya berpikir bahwa kita sementara bersandiwara di UNIMA. Skripsi mahasiswa yang ‘dibantu’ oleh dosen, skripsi pesanan, nilai-nilai mata kuliah yang disulap dengan uang, dan amplop-amplop tutup mulut di ujian komprehensif; semua ini adalah akibat dari nepotisme. Yang bisa jadi dosen dan pegawai adalah yang punya ikatan keluarga atau teman dari yang incumbent. Akibatnya banyak orang yang terlibat di dunia pendidikan tapi tak memiliki panggilan jiwa dan tanggung jawab sosial. Tak ada yang benar-benar sesuai prosedur atau setidaknya suatu penyelenggaraan yang ideal untuk menghasilkan kualitas pendidikan yang kita cita-citakan secara kolektif.


[1]Aktivis yang dikenal seorang intelektual era 1966 yang juga terlibat dalam penggulingan Presiden Soekarno. Kisahnya telah difilmkan dengan judul Gie yang disutradarai oleh Riri Riza.
[2] Ansary, Tamim. Destiny Disrupted. The history of the world through Islamic eyes. Publicaffairs. 2009.