halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Jumat, 25 November 2011

RENCANA PENERBITAN BUKU SAYA


KETIKA AKU HARUS MEMBUANG JIWA, HATI, DAN PIKIRANKU
Sebuah Catatan Bening

[ Berbahagialah orang yang tidak mengenal aku sebab sesungguhnya mereka jauh dari penyesatan dan luka.]

Iswadi Sual


PROLOG
Langit mendung dan angin bertiup kencang menyambar segala sesuatu. Tak peduli siapa, yang terpenting baginya adalah bergerak; berpindah dari selatan ke utara. Meninggalkan tempatnya dan menerobos segala penghalang di depannya. Para perempuan desa berlari-lari mengangkat jemuran yang disapu oleh angin. Sementara pria mengejar anak-anak mereka yang sedang bermain-main di tengah tiupan angin. Seketika semua bergegas masuk ke dalam rumah masing-masing.
Ketika air menetes dari langit aku dan kakakku mulai membaca catatan harian dari seorang yang telah tiada.Catatan harian ini kami terima dari seorang janda yang mengaku sebagai ibu dari pemilik catatan tersebut.Katanya catatan-catatan ini mungkin berharga bagi mereka yang cukup mengerti. Sebelum anaknya meninggal dia pernah berkata bahwa dia menulis tentang dunia yang sebenarnya.
          Tak tahu apa alasan mengapa catatan-catatan ini diserahkan pada kami. Aku hanyalah seorang mahasiswa yang sedang berada dalam kebimbangan di akhir studi Sementara kakakku adalah mantan aktivis kampus yang sedang bergulat untuk memilih idealism atau kehidupan yang ‘normal’. Tapi satu hal yang pasti bahwa kami ingin merubah desa ini. Mencoba mengangkat martabat desa yang mulai digerogoti oleh modernism ala eropa. Mengembalikan nilai-nilai dan semangat mapalus yang sudah terbenam dalam-dalam di setiap jiwa masyarakat desa. Membiasakan kembali bahasa ibu yang kini dianggap sebagai bahasa yang sungguh memalukan untuk digunakan dalam situasi apapun. Aku rindu dengan kata-kata seperti ta’terong, kaliye’, plinggir, yang sungguh berkesan kedesaan.
          Sekarang semua itu telah dirampas oleh modernism. Kata-kata tersebut telah diganti dengan bahasa baku, gaul, dan lebih bergengsi lagi adalah bahasa Inggris. Tapi itulah dunia; selalu berubah mengikuti kemauannya sendiri. Mungkin terlalu egois ketika kita memaksakan dunia kita pada generasi yang akan datang.
          Kakakku berhenti membaca ketika hujan semakin deras dan udara mulai terasa dingin menusuk sampai ke dalam tulang. Dia pergi ke dapur sebentar dan kembali dengan minuman hangat. Aku berhenti membaca dan kami sepakat dalam hati untuk mencicipi minuman yang sudah tersedia itu. Setelah itu kami mulai membaca kembali catatan-catatan tersebut sampai selesai.
          Sebagai orang yang berlatar belakang akademis ada sedikit gengsi apabila tidak memberikan komentar terhadap sesuatu hal. Mengenai tulisan ini aku sendiri menganggap penulisnya kurang konsisten dalam pemikiran dan kurangnya pemahaman terhadap sastra sehingga membawa kerancuan dalam tulisannya sendiri. Tapi bila dipikir-pikir kembali mungkin saja penulisan ini sengaja dibuat begitu. Ada pemikiran bahwa seni mencerminkan keadaan jiwa dari penciptanya. Apakah mungkin kepribadian penulis sama kacaunya dengan tulisan yang dia buat?Belum bisa dipastikan tapi itu mungkin menjadi kesimpulan sementara untukku. Kakakku biasanya selalu antusias untuk mengawali diskusi tapi saat ini dia masih terlihat mencari-cari pemahaman dalam pikirannya sendiri.
          Catatan-catatan ini memang bukan semuanya dimaksudkan untuk tujuan sastra tetapi lebih pada ungkapan jiwa, hati, dan pikiran dari penulis. Penulisannya campur aduk antara pengalaman hidup, pemikiran, dan puisi-puisi. Catatan-catatan ini diserahkan pada kami tanpa adanya harapan. Hanya diserahkan begitu saja oleh orang yang mengaku sebagai ibu penulis. Perlu untuk diakui tulisan ini membawa kebingungan ketika harus dimaknai secara total.
          Walaupun sedikit membingungkan tetapi kakakku mencoba membagi tahap pemikiran penulis dilihat dari gaya dan waktu penulisannya. Perkembangan pemikiran penulis nampak dalam tulisannya. Tetapi tetap berkesan semeraut oleh karena tema dari catatan ini agak sulit ditentukan. Untuk lebih jelasnya kami menyusun catatan tersebut seperti di bawah ini.

 CONTENT COVERED
EPILOG
          Ada senyum tipis dan kebingungan dalam pikiran; sekali-kali kami juga mendesah oleh karena catatan-catatan ini. Kami berpikir semua catatan ini hanya bisa dipahami oleh penulisnya sendiri. Membaca semua itu terasa masuk dalam dunia mental yang semeraut dan tanpa arah. Ayam jantan berkokok. Kami menyadari bahwa hari sebentar lagi akan terang. Tak terasa waktu cepat berlalu sementara kami membaca dan mendiskusikan catatan-catatan tersebut. Kicauan burung terdengar dari seekor sampai sekawanan. Kulit terasa dingin, mata tetap terjaga, dan kepala terasa berat. Inilah dampak dari tidak tidur semalaman.
          Aku merasa menyadari sesuatu. Mengapa kami berusaha membaca dan mendiskusikan catatan-catatan ini? Orang yang menyerahkannya pada kami tidak jelas. Lalu mengapa pula kami harus berkonsentrasi dengan catatan-catatan ini? Apa mungkin kami dihipnosis oleh perempuan itu sehingga kami dengan ringan hati dan tanpa bertele-tele langsung menerima catatan-catatan ini. Kami bersepakat untuk mencari perempuan itu ketika hari telah terang.
          Jam 8 pagi. Ketika kami bergegas keluar rumah untuk mencari perempuan yang menyerahkan catatan-catatan itu, lonceng gereja berbunyi. Kami berhenti. Lonceng gereja adalah tanda panggilan beribadah dan dimulainya kebaktian. Tapi ini hari jumat. Apa maksud lonceng dibunyikan? Sudah pasti ada yang meninggal! Orang-orang desa mulai keluar dan ba karlsota mencari tahu siapa yang sudah meninggal. Sesuai tradisi biasanya ketika ada orang yang meninggal maka aktivitas mencangkul atau pergi ke kobong akan dihentikan dan membantu keluarga yang berdukacita; menghibur mereka. Sekarang ini tradisi seperti itu sudah dikikis. Ketika ada orang meninggal sebagian orang desa merasa resah kalau penguburannya terlalu lama. Katanya itu akan menghambat aktivitas kerja mereka. Katanya waktu adalah uang. Kebersamaan masyarakat desa telah digerogoti oleh desakan ekonomi.
          Orang-orang desa mulai bergerak berjalan menuju selatan daerah perkebunan. Anak-anak berlari dan saling mendorong. Mereka juga ingin mengetahui siapa yang meninggal. Itulah anak-anak ingin tahu saja. Aku bertanya pada anak kecil yang berlari berlawanan arah dengan orang banyak tetang apa sebenarnya yang terjadi. Anak-anak biasanya adalah sumber informasi yang paling baik. Karena tak menyembunyikan sesuatu pun. Mereka manyampaikan apa yang mereka lihat.
          Rupanya ada orang yang bunuh diri di dekat sungai. Kami juga bergegas ke sana. Ternyata seorang perempuan bunuh diri dengan memotong lehernya sendiri. Aku dan kakaku kaget ketika memperhatikan wajah perempuan itu. Wajahnya mirip dengan orang yang menyerahkan catatan-catatan itu. Ketika membalikkan mayat itu ada luka cabik-cabik di belakangnya. Aku memperhatikan luka-luka akibat cabikan itu. Ada tulisan samar!
         
          Inilah akibatnya mewartakan perasaan orang lain

Oh sungguh mengerikan. Polisi datang dan menarik kesimpulan sementara bahwa ini adalah korban pembunuhan. Korban dianiaya terlebih dahulu kemudian digorok. Sumber infomasi hidup kami tentang penulis catatan-catatan itu sudah hilang. Jadi, catatan-catatan itu tinggal dimaknai sendiri saja.





MASALAH KEINDAHAN DAN KETURUNAN


 Dia yang termenung adalah gadis yang ditinggal pergi oleh kekasihnya setelah puas menikmati tubuhnya. Tiba-tiba seorang lelaki muncul dan memeluknya dari belakang.
          ”Jangan takut,aku datang untuk menghamilimu.
          Biarlah kesempurnaan bersama kita.” kata lelaki itu
          ”Tapi bagaimana bisa? Aku tidak mencintaimu!”
          ”Ini bukan masalah cinta tapi masalah keturunan.
           Apakah hanya atas nama cinta kau ingin mewariskan kecebolan kekasihmu?
           Apakah hanya atas nama cinta kau ingin mewariskan keidiotan kekasihmu?
           Apakah hanya atas nama cinta kau ingin mewariskan kemungilan kekasihmu
           Sumpah... keturunannya akan mengutuk dirinya sendiri. Dia akan bertanya-tanya
 mengapa aku diciptakan seperti ini. Dan siapa yang bertanggung jawab untuk
 itu?
 Lihatlah aku... aku tampan dan jenius, badanku kekar. Keturunan kita tidak akan membenci dirinya sendiri melainkan membanggakannya.”

17 September 2008

SURAT


…, 13 Agustus 2008
Untuk dia yang menerima…

        Ketika menulis surat ini pikiranku berkecamuk. Banyak hal yang perlu ku sampaikan. Karena terlalu banyak aku tak tahu harus mulai dari mana.
        Tampaknya banyak hal yang perlu dipertegas dalam keluarga kita. Mengenai impian-impian dan harapan-harapan. Semua orang mempunyai harapan dan impian tapi kadang-kadang harapan dan impian itu mereka korbankan demi harapan dan impian orang lain. Aku ingin menjelaskan…ah bukan! Aku hanya ingin menegaskan hal-hal yang perlu kita renungkan dalam persoalan keluarga kita. Ini tentunya menyangkut harapan-harapan orang tua.juga impian mereka. Aku mengira kau pun mengetahuinya. Kau bisa melihatnya. Tapi ada titik-titik yang perlu dipertegas. Aku tak mau menyebutkannya. Aku yakin kau juga memahaminya. Cukup dengan merenung dan kau akan menemukan sesuatu yang kau ketahui namun tak kau sadari.
        Seperti halnya dalam umat beragama, mereka sudah mengetahui apa itu baik dan buruk; singkatnya apa itu dosa. Tapi mereka tak pernah menyadari dosa-dosa yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah yang membuatnya begitu? Seharusnya ada yang perlu dipertegas lagi dalam khotbah-khotbah dalam ibadah mereka.
        Begitu juga dalam hal berbangsa dan bernegara.Warga negara perlu mendapat pengetahuan untuk membangkitkan kesadaran mengenai hakikat dari negara itu.
        Semuanya perlu dipertegas untuk memperoleh kesadaran. Oleh karena itu, aku mengajakmu untuk merenung sebentar dan mencoba memahami situasi keluarga kita.
        Bersama surat ini aku sertakan sebuah cerita yang mungkin dapat mempertegas titik-titik itu.

          Di bawah terang bulan seorang lelaki tua berjalan. Badannya membungkuk oleh karena beban di pundaknya. Tapi rupanya dia memang sudah bungkuk walau tanpa beban. Maklum umurnya sudah 50-an lebih. Jalannya tidak seperti orang kebiasaan. Lebih pelan. Mungkin karena tubuhnya yang tua dan kurus serta ditambah beban di pundaknya yang membuat orang tua itu berjalan pelan. Namun, tampaknya dia berusaha lebih cepat.
          “ Ini untuk anakku, masa depannya.” Orang tua itu mengguman dalam hati.
          Ironis, ternyata orang tua ini mengorbankan jiwa raganya demi masa depan anaknya.  Dia mengorbankan masa di mana seharusnya dia beristirahat dari pekerjaannya.
          Dia berjalan menuju rumahnya.
          “Apa yang kau bawa?” istrinya bertanya ketika dia melepaskan beban dan duduk di sebuah kursi plastic merah. Dia mendesah penuh kemenangan. Berhasil mengalahkan berat langkah-langkahnya. Sebenarnya motivasinya bukan sekedar mengalahkan berat langkah-langkahnya  tapi dia dikejar tanggung jawab.
          “Kelapa, pisang, dan sedikit sayuran.” Orang tua itu menjawab lemah.
          “Aku akan membuat dua jenis kue malam ini. Anak-anak sekolah pasti suka. Kita makan sayur dan nasi saja mala mini. Harus menghemat. Anak kita pasti membutuhkan uang lebih banyak.”
          Sepasang suami-istri ini bekerja siang dan malam. Begitu terus tiap harinya. Tapi apa motivasi mereka? Anak mereka adalah mahasiswa berprestasi yang menjadi kebanggaan mereka. Selluruh warga desa tahu tentang hal itu. Kebanggaan itulah yang memotivasi mereka. Tapi apakah orang hidup bahagia hanya dengan kebanggaan? Ini dunia materi!
          Orang tua ini masih duduk di kursinya sementara istrinya sedang mengerjakan kue. Dia merenung. Tiba-tiba renungannya terganggu karena sebuah firasat. ‘ada orang di depan rumah’.  Dia mencoba membuktikan firasat itu. Pintu ditariknya dan cahaya lampu dalam rumah keluar. Betul! Ada orang di situ. Lebih dari satu. Mereka kelihatan gelisah dan agak kaku gerakannya. Orang tua itu belum bisa memastikan siapa mereka. Tidak jelas.
          “Yang di situ, siapa kalian?” pekiknya.
          Karena merasa sudah diperhatikan maka orang-orang itu bergegas maju menerobos masuk ke dalam rumah.
          Orang tua itu tercengang tak percaya apa yang dilihatnya. Dia hanya bisa secara reflex bergeser ketika dua orang itu masuk. Yang satu anaknya, tapi yang satu siapa? Orang tua itu menguasai dirinya. Dia pergi memberitahukan istrinya tentang kedatangan anak mereka. Mereka berkumpul seperti reuni keluarga.
          “Kau kembali tanpa kabar lebih dulu.” Sang istri memulai.
          “Kau sudah berhasil? Apa yang kau bawa?” sang suami melanjutkan.
          Sang anak terjepit dengan pernyataan dan pertanyaan itu. Tak tahu mana lebih dulu yang harus ditanggapi.
          “Sebelumnya saya minta maaf atas kedatangan yang tiba-tiba ini. Ayah… ibu… saya kembali membawa kebenaran dan kesadaran. Hampir saya lupa… saya juga membawa serta istriku. Maaf karena tanpa sepengetahuan ayah dan ibu. Saya sebenarnya…” Anak itu melanjutkan ceritanya seperti memberi kuliah kepada kedua orang tuanya. Penjelasannya ilmiah. Orang tuanya mengangguk-angguk. Maklum, tidak cukup pengetahuan memahaminya; orang tuanya tak ulus SD.
          Mendengar penjelasan itu kedua orang tua itu sadar bahwa anak merek hanya membawa dirinya sendiri dan beban baru untuk keluarga; istrinya. Gadis kota yang tak tahu keja-kerja praktis di desa. Ibunya menangis sedangkan ayahnya merenung. Kedua orang tua itu kecewa pada anak mereka.
          Merka kembali merenungkan usaha mereka selama ini. Ternyata semuanya sia-sia. Harapan mereka bahwa anak mereka ketika berhasil nanti dapat membawa perubahan ekonomi dalam keluarga. Tapi ternyata dia sudah membangun ekonominya sendiri. Selama ini mereka hanya hidup dengan kebanggaan prestasi anaknya. Tidak lebih.
          Orang tua itu sadar bahwa tak ada gunanya dia berusaha supaya anaknya mendapat pendidikan tinggi karena nasib ternyata tak berubah. Dia kemudian membandingkan dengan keluarga lain yang anak mereka tidak bersekolah tinggi. Hidup mereka lebih sejahtera.
          “Apa gunanya semua usahaku…sia-sia. Anakku sendiri tak mengerti harapanku. Aku hanyalah korban keberhasilannya. Dia tak mau jadi kaya yang dia inginkan hanyalah hidup sederhana dengan keluarganya yang baru. Aku sial. Dia tak membawa kekayaan tapi hanya kebenaran dan kesadaran.”
          

SEMU


Untuk yang tak pernah ada aku ingin berkata sayang  kepadamu. Sebab ku cari dan tak ku temukan dirimu. Segala yang ku lewati hanyalah bayangan-bayanganmu yang palsu dan tak mampu memberi kenikmatan. Sayang…inilah aku yang tak kan pernah melihat dirimu utuh, tapi ku berharap bayang-bayangmu   menjadi satu sehingga ku kenali bayangmu yang asli. Ku berharap dapat mencintai bayangmu sehingga berat hati ini terlepas oleh sentuhan bayangmu. Ku tak tahu cara menemukan dirimu sebab bayangmu pun tak tahu di mana kau berada.
Izinkanlah ku sampaikan salam lewat bayangmu kar’na tak mungkin ku temukan dirimu selain bayang-bayang hitam ini.
27 Maret 2006

Rabu, 23 November 2011

...

I HOPE THEY WON'T BE DISAPPOINTED

Dalam keadaan sekarat sang ayah berpesan
          ”Anakku, janganlah menggantungkan harapanmu pada abstraksi kenyataan dalam bentuk pengertian-pengertian. Sebab dari situlah sumber segala kekecewaan dunia. Dunia selalu mengkhianati manusia.
          Janganlah biarkan rasa ingin memiliki dunia menguasai dirimu sendiri. Sebab sesungguhnya tak ada sesuatu yang bena-benar menjadi milikmu. Tubuhmu saja bukanlah sepenuhnya milikmu.
          Janganlah membiarkan dirimu terpesona pada hal-hal besar dan indah. Sebab semua itu adalah kebohongan dan penipuan yang sungguh memperdaya.
          Tetapi letakkan dirimu pada pengertianmu sendiri. Bangunlah pandangan-pandangan dunia lewat jalanmu sendiri.
          Aku wariskan dunia ini untukmu; untuk kau usahakan dalam membentuk pengertianmu.”
          Setelah itu sang ayah kaku seketika. Semua orang di situ tertawa. Sungguh menggelikan ternyata sang ayah hanya mewariskan kata-kata pada anaknya.  Memangnya siapa ayah anak itu sehingga mewariskan dunia pada anaknya. Sedangkan sang ayah hanyalah pemabuk yang sering mendapat ejekan dari masyarakat dan bahan olok-olokkan dari anak-anak kecil.
          Tidak seperti jasad para pejabat dan orang-orang terhormat yang seakan tak sanggup untuk dikebumikan oleh masyarakat tetapi jasad sang ayah hanya dilihat sambil lalu oleh mereka dan ditinggal kemudian. Sang anak mengangkat sendiri jasad ayahnya.  Dia menguburkan jasad ayahnya dan di atasnya ditanami pohon. Pikirnya mungkin ayahnya akan sedikit berguna dengan menjadikan tanah itu gembur sehingga pohon tu subur dan berbuah kelak. Sebagai penebusan pada masa hidup yang habis dengan kemabukan.
          ”Janganlah membiarkan dirimu dikuasai oleh hal-hal yang menyentuh hati. Sebab itu adalah jebakan paling berbahaya.”
          Seakan suasana di situ menjadi perantara pesan terakhir dari sang ayah. Sang anak menusuk jantungnya dengan sebilah pisau dan masyarakat membiarkan tubuhnya dimakan binatang sebagai hal berguna terakhir dari dirinya.
10 Januari 2010

...


Untuk perasaan yang tertunda,   
    Bagiku dunia terlalu tak adil ketika membatasi perasaan-perasaan kita. Perasaan untuk menyayangi mereka yang membutuhkan kita. Perasaan untuk bersama mereka yang mencintai kita. Semuanya dibatasi oleh norma, adat istiadat, dan harapan palsu karena paksaan situasi. Batas-batas yang membuat kita menjadi munafik.
          Aku tak bisa mendustai kesadaranku bahwa dunia adalah hal yang mesti ditertawakan. Hidup tak perlu diseriusi oleh karena ketika kita memikirkan kemabali hal-hal yang kita lakukan denga penuh ketekunan maka rasa geli diperut akan membuat kita tertawa.
          Aku telah memberi harapan semu bagi jiwa-jiwa yang tertindas. Jiwa-jiwa yang ingin mencintai dan dicintai. Tetapi bukankah aku memberi keadilan pada dunia? Biarlah aturan tentang cinta runtuh agar kita bebas mencintai. Aturan telah memaksa kita mendustai keinginan-keinginan kita.
02 April 2011

BUKAN PEREMPUAN BIASA

29 Juli 2008
          “Cinta muncul dari ikatan atau hubungan yang cukup lama.” Gloria membalas pernyataan kekasihnya ketika mengatakan ‘aku cinta padamu’.
          “Bukankah cinta hadir setiap saat ketika pria dan wanita bertemu?”
          “Waktu itu cinta hadir secara verbal bukan tindakan dan perasaan sesunguhnya. Kata cinta selalu hadir atas dorongan seks. Sang kekasih selalu mengatakan dan melakukan apa saja karena dorongan ini. Kata-kata indah dan tindakan-tindakan nekat terjadi untuk mengejar dan memuaskan nafsu. Anak-anak pun dilahirkan tanpa proyeki dan hanya karena dorongan seks.”
21 Juli 2008
          Gloria memandang mata pria itu dan menjelajahi perasaannya. Pria itu sementara menyadari kebenaran yang dikatakan kekasihnya. Dia kemudian memalingkan wajah san menatap ke langit.
          “Tapi mengapa mereka menikah, punya anak, dan hidup bahagia? Dan mengatakan bahwa hubungan mereka itu atas nama cinta?”
          “Itu karena pergeseran hakikat. Awalnya seks kemudian menjadi cinta. Jika tak ada moralitas, cinta tak pernah ada. Pernikahan adalah masalah moral untuk menentukan sahnya hubungan atau tidak. Manusia membiasakan diri dalam ikatan ini dan mau tak mau harus! Karena sanki moral adalah perasaan. Sementara manusia selalu menghindari penindasan perasaan yang selalu mendorong jiwanya keluar.” Pria ini tak mengerti mengenai penjelasan kekasihnya.  Dahinya mengerut serta matanya menjadi focus.
          “Mungkin kau kurang mengerti soal pergeseran hakikat. Tak pernahkah kau menyadari pergeseran institusi pelayanan menjadi institusi penindas? Yang sebenarnya harus melayani tapi malah menindas. Dalam penikahan, manusia menggeser hakikat. Mereka berusaha membatasi nafsu mereka kepada yang lain. Tapi semata-mata hanya persoalan moralitas.”
          “Tapi tak semuanya berhasil membatasi nafsu mereka.” Pria itu berkomentar merasa dia juga udah sedikit memahami.
          “Betul. Ketika moralitas melemah maka naluri seks mendominasi.”
          “Apakah menurutmu semua pria mengejar wanita atas asr dorongan seks? Bukankah kenyataannya tak semua seperti itu?”
          Gloria mendekatkan wajahnya berhadapan dengan wajah kekasihnya oleh karena dari tadi dia merasa kekasihnya belum juga mengerti betul apa yang dia maksud.
          “Memang pada kenyataannya pria mengejar wanita karena beberapa kualitas. Ada yang mengejar kualitas erotis, ada yang mengejar kualitas estetis, ada yang mengejar kualitas etis, dan ada yang mengejar kualitas logis. Kualitas-kualitas itu bisa dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama erotis dan estetis; di mana pria mengejar nafsu dan keindahan tubuh dan wajah wanita. Yang kedua etis dan logis; di mana pria mengejar kualitas moral dan intelektual wanita. Tapi sebenarnya kelompok yang kedua ini adalah peraihan dari kelompk pertama. Ketika pria ditolak dan dikecewakan oleh kelompok pertama maka mereka beralih pada kelompok kedua. Tak jarang pula nperalihan pengejaran terjadi karena pria menyadari keadaannya sendiri da memutuskan utnuk beralih mengejar kelompok kedua. Tapi sebenarnya dalam realitas praktis tak ada pengelompokkan kualitas. Mereka itu berdiri sendiri-sendiri. Ada yang dari kualitas erotis beralih ke kualitas etis. Ada yang dari kualitas estetis beralih ke kualitas logis. Semuanya bergantung kualitas mana dari kelompok pertama yang mengecewakan mereka dan sasaran mana yang akan dipilih pada kelompok kedua. Intinya semua beralih dari kelompok pertama.”
          “Apakah itu cuma berlaku pada pria sementara wanita tidak?”
          “Wanita dan pria sama saja, cuma perbedaan motivasi…naluri atau moralitas. Manusia digerakkan oleh naluri seks. Tidakkah kau mengamati cinta orang-orang muda  yang terkikis oleh waktu. Ketika mereka telah memuaskan nafsu kebenaran menjadi kebohongan. Dorongan yang kedua adalah moralitas. Moralitas mendorng sekaligus membatasi manusia. Manusia harus menyembunyikan naluri seksnya manusia harus menikah pada usia ideal dan..”
          “Kau hanya mengaburkan masalah dengan penjelasan panjang. Aku hanya bertanya apakah hanya pria yang mengejar sementara wanita tidak. Kau seperti orang-orang yang mengajak berdialog tapi membelokkan wancana dan cepat-cepat mengambil keputusan dengan legitimasi kehadiran orang banyak.”
          “Intinya pria dan wanita melakukannya.” Gloria menyadari dominasinya.
25 Juli 2008
          “Apakah kau pernah mengmbil kesimpulan bahwa pria dan wanita saling bertentangan sekaligus saling membutuhkan?”
          “Pria dan wanita memiliki beberapa perbedaan – yang mungkin kau maksud pertentangan – yang esensial.  Perbedaan alat kelamin, perbedaan control (logis dan emosional), perbedaan orientasi (abstrak dan religious) dan seterusnya. Namun dengan perbedaan itulah pria dan wanita saling membutuhkan demi keseimbangan. Tidakkah kau berpikir bahwa tuhan dan setan – yang satu simboisasi dari kebaikan dan yang satu lagi simbalisasi dari kejahatan – saling bertentangan sekaligus saling membutuhkan? Buktinya ketika dia menguji kesalehan Ayub dia menggunakan setan. Nah inilah fenomena ganjil yang kita temukan dalam realitas.”
          “Mengapa harus ganjil? Bukankah segala sesuatu itu berpasangan (genap) menurut prinsip dialektika?”
          “Mungkin aku salah menggunakan kata. Tapi tidak pernakah kau mempelajari bahwa sesudah tesis dan antithesis ada sintesis? Pernakah kau berpikir bahwa
Di antara proton dan electron ada neuton
Di antara tuhan dan setan ada manusia
Di antara pria dan wanita ada banci
Di antara manusia dan hewan ada tumbuhan
Di antara matahari dan bumi ada bulan?
Bukankah ini semua adalah keganjilan? Keganjilan adalah perantara.”
          Gloria tersenyum dan kekasihnya mengerutkan dahi. Pria itu berdiri cepat-cepat kemudian bersuara “Ah! Ini diskusi bodoh! Baiklah, kita putuskan saja hubungan kita.” Pria itu kemudian pergi.
          “Hubungan cinta kita putus tapi hubungan antara pria dan wanita kita tidak putus karena kita memang bertentangan tapi saling membutuhkan.”
28 Juli 2008
          Sang kekasih telah pergi tapi Gloria tidak menahan dan merengek-rengek di lututnya. Ini di luar kebiasaan sepasang kekasih ketika hubungan mereka hancur. Tapi apakah yang membuat kebiasaan itu terjadi? Ini adalah ketergantungan dan tak lain adalah moralitas! Seorang wanita yang merengek-rengek, putus asa, dan nekat ketika dicampakan kekasih adalah wanita yang sudah pernah bersetubuh dan pokoknya pernah berbuat mesum dengan kekasihnya. Dia tahu bahwa ini mengancam moralnya.
***
          Gerak bibir tanpa suara serta mata yang mengadah ke atas, tapi fokusnya mengarah pada pikiran, membuatnya seperti orang yang terganggu pikirannya. Gloria  sedang memahami Sesutu dari bukunya. Apakah Cuma orang gila yang terganggu pikirannya? Bukankah filsuf juga? Gloria sudah terbiasa membaca berhari-hari tanpa mengingat lagi kebiasaan manusia. Dia lupa makan, minum, mandi, tidur, sikat gigi, dan lain-lain. Lebih para lagi dia melupakaan kodrat keperempuannya untuk menikah.
          “Hai, wanita korban buku! Tak tahukah kau telah sesat dengan meninggalkan kebiasaan manusia.” Seorang pendeta berkotbah dengan angkuhnya.
          Memang para pendeta selalu angkuh karena menganggap tuhan selalu di samping menemani. Bukankah kenytaan mereka selalu meninggalkan tuhan di belakang dan berkotbah seakan-akan tuhan ada di depan mereka?
          Merasa terganggu Gloria menutup bukunya.
          “Bukankah segala sesuatu adalah korban? Alam semesta adalah korban tuhan. Para aktivis adalah korban pemikiran mereka sendiri. Para revolusioner adalah korban ideology. Seniman adalah korban kegilaan mereka sendiri. Masyarakat pasif adalah korban tradisi. Anak adalah korban orang tua. Lebih para lagi jemaat adalah korban eksploitasi para pendeta. Siapakah yang tidak merasa sebagai korban? Segala sesuatu yang ada saat ini adalah ujung rantai sebab-akibat yang akan terus berlanjut. Namun, pertanyaan mendasar apakah penyebab pertama itu? Singularitas. Tak hanya itu, jawabannya bervariasi.”
          Pendeta ini geram. Matanya menyipit dan dahi serta alis matanya berkumpul seperti kue cucur.
          “Dasar atheis! Kau ingin melawan ke-mahakuasa-an tuhan.”
          “Kalau tuhan mahakuasa berarti dialah yang mentakdirkan perkataanku tadi dan tak mungkinlah aku melawannya. Aku melawan agama bukan tuhan. Tingkah laku para pendeta dan jemaat semuanya di luar hakikat agama. Semua orang pergi beribadah berdasarkan hari kudus yang ditetapkan. Tapi, sesudah itu mereka kembali pada keduniawiaan. Dunia lebih menarik daripada surga. Manusia lebih suka sesuatu yang ada di depan mata daripada sesuatu yang belum pasti dan jelas.  Mereka mewarisi tradisi tapi melupakan hakikatnya. Ritual hanyalah warisan sementara maknanya tidak dipahami. Bagi pendeta, penginjilan adalah retorika. Pendeta seperti pegawai negeri. Punya gaji, tunjangan hari raya, dan jaminan hidup tua. Aku harus menyatkan semua ini supaya semua orang mengerti hakikat. Siapakah yang akan berontak di antara dua orang yang dirantai; yang satu orang baik dan yang satu orang jahat?”
          “Tentu saja orang yang jahat.”
          “Inilah letak kesalahan manusia, tidak mau melihat kemungkinan. Ketika mereka ditawarkan untuk memilih, mereka selalu memilih satu. Contohnya, pendeta menawarkan surga dan neraka. Mereka selalu memilih satu yaitu surga. Tak terpikirkah oleh mereka bahwa kebosanan akan datng ketika mereka selalu senang. Apakah mereka tidak menginginkan tantangan demi keseimbangan. Dari kedua orang yang dirantai tadi, keduanya pasti berontak. Tetapi alasannya berbeda. Orang jahat berontak karena nafsunya dikekang. Sementara orang baik berontak karena merasa tak berbuat salah. Orang jahat dirantai oleh konvensi dan konstitusi. Sementara orang baik dirantai oleh penipuan Negara dan agama.”
          Pendeta ini tidak senang karena baru kali ini dia mendapat khotbah. Memang orang yang terbiasa memberi khotbah tidak mau menerima khotbah.
          Gloria senang dan lega telah mengeluarkan unek-unek dalam hati dan pikirannya. Tapi apakah semua ini? Para filsuf pun tenang dan lega ketika mewartakan pendapat mereka.  Tapi apa yang mereka terima selain dikucilkan dari masyarakat, dianggap atheis, kerasukan setan, dan dicurigai menderita kegilaan.
***