halo aci!

halo aci!
Teater Ungu

Selasa, 26 Juli 2011

AIR MUJIZAT DI DESA LALUMPE


Desa Lalumpe[1] terletak di bagian selatan tanah Minahasa[2] - dalam jajaran wullur ma’atus - kecamatan Motoling yang memiliki luas kurang lebih 1500 h. Ada banyak hal unik di desa ini ketika kita bertanya dan berusaha mendengarkan dengan saksama cerita dari masyarakat tentang hal-hal yang menjadi ciri khasnya. Hampir semua masyarakat mempunyai cerita mereka masing-masing tentang perkembangan masyarakat mereka sendiri. Ada banyak hal yang menghiasi perkembangan masyarakat dari mitos, legenda, dan sejarah.
Salah satu hal yang khas di desa Lalumpe - yang namanya diambil dari nama jenis tanaman kayu ini - yang sudah menjadi legenda dan cerita turun temurun adalah Air Mujizat. Hal unik pertama yang akan muncul ketika kita bertanya tentang desa ini adalah Air Mujizat; baik orang tua maupun yang muda. Ceritanya di mulai sekitar tahun 1937 ketika rombongan mapalus yang berjumlah 13 orang yang dikepalai oleh Simson dan Aflis Sengkey[3] sedang kehausan dan mencari air di perkebunan yang disebut maumbi[4]. Kedua orang tersebut merupakan tua-tua jemaat di Pantekosta[5]. Tetapi rombongan mapalus itu merupakan gabungan dari jemaat Pantekosta (GPDI), GMIM, dan Katolik.  Pada waktu itu musim kemarau yang cukup panjang berlangsung sampai sepuluh bulan[6]. Sumber mata air desa sudah kering sehingga terjadi krisis air dan orang-orang mulai mencari sumber mata air yang baru.
Terinspirasi dari kisah Musa dalam kitab suci orang Kristen (Alkitab) maka dengan iman mereka berdoa – yang dipimpin oleh Simson Sengkey - kepada Tuhan. Awalnya tanah menjadi lembab dan akhirnya dari antara bebatuan yang terletak di lereng bukit muncullah mata air. Air yang ada di situ cukup melegenda oleh karena tak pernah menjadi kering sekali pun di musim kemarau yang panjang. Anehnya juga air di tempat ini tidak ditinggali katak atau jentik nyamuk padahal airnya tidak mengalir. Dalam masyarakat desa Lalumpe yang sangat religius-kristen menjadikan tempat ini sebagai bukti iman mereka sehingga di tahun 2011 pada HUT GPDI dibuat aksi teaterikal tentang mujizat Tuhan di desa Lalumpe. Air mujizat ini hanya merupakan genangan yang tidak mengalir walaupun tempatnya di kemiringan. Kondisi tempat air mujizat dari tahun ke tahun terjadi perubahan baik secara alami maupun campur tangan masyarakat desa. Dulunya, menurut seorang warga desa genangan air di tempat itu ada beberapa tetapi memiliki pusat genangan yang lebih besar dari yang lain. Tetapi sekarang ini tinggallah satu genangan air di sana.
Dari tahun 1937 sampai 1962 cerita tentang air mujizat terlupakan dan akhirnya seorang pendeta yang juga sebagai wartawan yaitu Nicky Sumual berusaha menggali sejarahnya kembali untuk melengkapi sejarah perkembangan Pantekosta. Dalam kurun waktu ini nama untuk menunjukkan tempat bersejarah itu belum ada sehingga terjadi tawar menawar antara Pendeta Kumajas dan Nicky Sumual untuk memberi nama tempat itu. Pendeta Kumajas menawarkan nama air Mujizat sementara Pendeta Nicky Sumual mengusulkan nama Air Sembayang. Tetapi akhirnya dalam penulisan sejarah Pendeta Sumual menggunakan nama Air Mujizat.
Mahasiswa KKN Unima saat berada di lokasi Air Mujizat
Pada tahun 1986 ketika  Air Mujizat telah menjadi pembicaraan di kalangan jemaat Kristen maka misionaris dari Kanada, Amerika, Australia dan juga hamba-hamba tuhan yang berasal dari Jawa datang berkunjung di desa Lalumpe untuk melihat tempat di mana ada Air Mujizat. Mereka juga masing-masing mengambil air dari tempat itu yang mungkin dijadikan sebagai kenang-kenangan atau souvenir yang mereka isi dalam botol. Oleh karena semakin banyak orang yang tahu dan tertarik untuk mengunjungi tempat ini maka sebagian masyarakat Lalumpe ingin membuat tempat itu menjadi objek wisata dengan pertimbangan ekonomis. Hal ini mendapat protes dari masyarakat yang lain oleh karena menurut mereka mujizat Tuhan tidak seharusnya diperlakukan sebagai objek wisata apalagi membayar karcis masuk[7].
 Ketika kita melihat secara langsung tempat Air Mujizat ini mungkin sangatlah berkesan biasa saja. Tetapi dalam masyarakat Lalumpe - khususnya jemaat Pantekosta - ada makna lebih mendalam yang diwariskan kepada beberapa generasi di desa ini. Seakan-akan Aer Mujizat adalah salah satu identitas masyarakat ini yang merupakan bukti dari kepercayaan atau iman kristiani tua-tua mereka dahulu. Kekristenan memang telah menyatu dengan jiwa masyarakat di desa ini sehingga kebanyakan cerita dari masyarakat selalu berkaitan dengan Kekristenan.
Air mujizat merupakan tempat yang bersejarah dan menjadi tempat yang keramat di desa Lalumpe. Sehingga hampir seluruh masyarakat mengetahui akan cerita dan tempat Air Mujizat. Memang dulunya ada warga yang tidak percaya dengan cerita tentang tempat ini sehingga dia tidak menghargainya. Suatu waktu dia ingin menguji kekeramatan Air Mujizat dengan membawa sapi untuk diberi minum di tempat itu. Hari berikutnya sapinya mati dan dia mendapat bukti bahwa tempat itu bukanlah tempat biasa. Memang ketika sejarah yang diceritakan dari generasi ke generasi mendapat tanggapan yang tak acuh dan justru mengabaikannya. Generasi sekarang memang kurang menghargai nilai-nilai historis bangsanya sendiri. Tak jarang generasi muda sekarang jika ditanya tentang sejarah tempat mereka tinggal dijawab dengan kata ‘tidak tahu’. Rasionalitas barat telah memberi kerangka berpikir yang membuat kita menjadi ragu dan bahkan tidak percaya dengan diri kita sendiri.


[1] Di tanah Minahasa ada dua desa yang bernama Lalumpe yang satu berada di daerah Tondano Pante dan yang satu di daerah Motoling. Dalam buku seorang misionaris Belanda, Graffland, yang ditulis pada 1864; dia pernah berkunjung di desa Lalumpe yang ada di daerah Tondano Pante dan dari keterangannya asal usul nama kampung tersebut diambil dari nama jenis tanaman kayu. Hal itu juga sama dengan asal usul nama desa Lalumpe yang ada di daerah Motoling. Tetapi menurut keterangan Ventje Onibala (1949 - ……) antara kedua desa ini tidak memiliki hubungan historis kekeluargaan atau semacam transmigrasi warga desa walaupun memiliki nama yang sama.
[2] Sebagian besar desa atau perkampungan yang berada di tanah Minahasa bagian selatan adalah masyarakat Tountemboan. Tetapi daerah Tompaso Baru adalah daerah migrasi – atau menurut keterangan opa Sengkey di Lalumpe, Tompaso Baru adalah daerah kolonisasi atau pengungsian sebagai kebijakan pemerintah oleh karena ada bencana di Tondano dan Tomohon - yang masyarakatnya terdiri dari berbagai sub-etnis Minahasa tetapi yang paling banyak adalah sub-etnis Toulour atau Toudano. Maka penggunaan bahasa di sana kebanyakan didominasi oleh bahasa Toulour.
[3] Menurut keterangan dari Hermanus Lampah (1931-…..) kedua orang ini berasal dari desa Tondei tetapi menurut Adri Marthen Sengkey (1935-…..) orang yang bernama Simson Sengkey adalah asli Lalumpe lalu pindah ke Tondei. Salah satu juga dari rombongan mapalus adalah George Sengkey ayah dari Andri Marten Sengkey.
[4] Menurut keterangan Ventje Onibala (1949 - …..) daerah perkebunan itu disebut maumbi karena banyak ditumbuhi pohon maumbi.
[5] Awalnya Gereja Pantekosta hanyalah satu di desa Lalumpe tetapi di tahun 1984 pecah menjadi dua yaitu GPDI dan GSPDI.
[6] Keterangan dari warga desa sangatlah bervariasi mengenai lamanya musim kemarau itu berlangsung. Ada yang menyatakan 1, 3, 8, dan 9
bulan. Tetapi penulis mengambil keterangan waktu yang paling lama dengan pertimbangan factor psikologis cerita dan umur dari sumber keterangan.
[7]Menurut Andri Marthen Sengkey ada satu ketika Air Mujizat menjadi kering yang menurut Gembala/Pendeta Manampiring ini disebabkan oleh para pejabat gereja sudah banyak melakukan dosa.

SEKELUMIT SEJARAH TENTANG DESA LALUMPE


A.      PENDAHULUAN
Ventje Onibala
Sejarah berkaitan dengan identitas atau jati diri kita. Kehilangan sejarah sama seperti kehilangan identitas dan jati diri. Karena sejarah menyimpan banyak hal yang menyangkut ciri khas manusia. Masyarakat yang telah melupakan sejarahnya tidak lagi mempunyai tumpuan budaya yang jelas. Mereka akan senantiasa terombang-ambingkan dalam arus modernism yang menuntut mereka bagaimana seharusnya berpikir dan berperilaku. Karena daya tarik modernism selalu menghipnosis masyarakat dengan prinsip kebebasan berekspresinya. Ada beberapa hal yang sangat menonjol dalam modernism di antaranya seks, kebebasan individual, dan kebebasan media.
Kebudayaan Minahasa yang telah digerogoti oleh modernism nyaris punah dan tak mendapat penghargaan dari kebanyakan masyarakatnya sendiri. Ini diakibatkan oleh karena sejarah minahasa yang biasanya diwariskan secara lisan oleh orang tua telah terputus pada beberapa generasi sebelum kita yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dalam pendidikan formal banyak terjadi pengabaian terhadap kebudayaan kita sendiri. Contohnya ketika kita lebih diajar untuk cepat berbahasa inggris dari pada bahasa tountemboan, toulour, atau tombulu dan lebih mengikuti konsep-konsep pemerintahan yunani daripada konsep mapalus. Pendidikan yang menjadi pusat kebudayaan seharusnya lebih peka terhadap nilai-nilai cultural suatu bangsa yang patutu untuk dilestarikan.
Dengan landasan pemikiran di atas penulis merasa terpanggil untuk menulis sejarah desa Lalumpe walaupun hanya sedikit sekali. Mengahadapi tantangan ekonomi dan budaya internasional maka kita harus mempunyai komitmen bersama untuk melestarikan budaya kita. Karena sesungguhnya tidak ada yang inferior atau superior dalam budaya; yang membuat budaya bangsa lain merosot adalah pengaruh penakhlukan dan penjajahan. Kita harus berbangga akan jati diri kita dan mempunyai kesadaran akan tanggung jawab social untuk melestarikan budaya sendiri sebagai karakter masyarakat.
Yang harus kita akui bahwa beberapa generasi muda kita sekarang lebih suka budaya barat yang ditampilkan dalam media massa ataupun media elektronik daripada mencari tahu tentang sejarah bangsanya sendiri. Pemikiran dan perilaku generasi muda kita telah dibentuk sedemikian rupa sehingga telah mengabaikan nila-nilai kultural bangsanya sendiri. Tugas dari kaum intelektual atau kaum yang memiliki kesadaran adalah mengusahakan agar kebudayaannya tidak hilang ditelan zaman. Kita harus berani berjuang untuk menggali kembali dan melestarikan budaya kita. Perjuangan kita bukanlah perjuangan politis, fasis, atau etnosentris tetapi perjuangan kita lebih berkaitan dengan harga diri. Dalam konteks globalisasi harga diri kita sementara dipertaruhkan tinggal dari kita sendiri yang memutuskan apakah kita akan menghargai nilai-nilai cultural kita atau memudar dalam arus globalisasi.
Modernism dan globalisasi memang tidak harus ditolak secara total tetapi kita harus menjadi selektif dalam melihat nilai-nilai yang dikandungnya. Hal yang positif perlu kita terima dan kembangkan sementara yang menggerogoti budaya harusnya kita kesampingkan. 
B.      ASAL MULA
Ada hubungan yang erat kaitannya antara desa Lalumpe, Raanan Lama, Kroit, Raanan Baru, Tondei, Motoling dan desa-desa lain yang berada di sekitar Gunung Lolombulan dan Kuala Ranoyapo. Oleh karena masyarakatnya berkembang dari tempat yang disebut Mawale[1]. Mawale merupakan perkampungan tua yang terletak di antara gunung Lolombuan dan Sinonsayang. Tempat ini dulunya hanyalah tempat persinggahan tetapi kemudian menjadi perkampungan. Oleh karena ada ancaman wabah penyakit dan ancaman orang-orang Mangindanau[2] maka sebagian orang-orang desa berpindah di tempat yang sekarang disebut Raanan Lama. Dari sini orang-orangnya menyebar ke tempat-tempat lain dan mendirikan perkampungan sendiri.
                Lalumpe pada tahun 1866 hanyalah daerah  perkebunan milu, kopi, dan padi dari beberapa keluarga dari Raanan yang kemudian menetap dan mendirikan rumah. Yohanis Rumengan[3] adalah salah satu orang yang mempunyai perkebunan di daerah ini. Nama Lalumpe diambil dari jenis tanaman kayu yang kebetulan banyak tumbuh di daerah ini. Tetapi ada satu kayu lalumpe yang ukurannya sangat besar yang teletak di tengah kampung ini yang memiliki kekuatan mitis. Oleh karena pernah ditebang oleh warga sampai kira-kira 20 cm sisanya tapi tidak tumbang atau roboh.
                Dalam kebudayaan orang minahasa untuk menguji kelayakan suatu tempat untuk didiami biasanya diadakan suatu upacara yang disebut tumani. Tumani adalah upacara untuk meminta petunjuk pada opo wananatas tentang kelayakan suatu tempat untuk didiami. Biasanya yang digunakan dalam upacara ini adalah lidi rumput arau, – sejenis tanaman paku –  kure’[4] dan mendengar bunyi burung manguni[5]. Setiap mendengar bunyi burung manguni lidi rumput arau harus dipatahkan sampai 99 kali kemudian semua patahan lidi rumput arau diisi dalam kure’ dan dikubur dalam tanah; selesai itu diadakan pesta. Jika bunyi burung manguni tidak mencapai 99 kali maka tempat itu tidak layak untuk didiami[6]. Tetapi praktik kebudayaan ini tidak sempat diterapkan dalam menguji kelayakan pemukiman desa Lalumpe.
                Pada tahun 1911 atas dasar mandat Hukum Tua Raanan  maka Yohanis Rumengan ditunjuk sebagai kumisi untuk memeriksa kelayakan lalumpe untuk didirikan pemukiman .Di masa Rumengan – yang juga disebut sebagai perintis desa Lalumpe –  pemerintahannya masih satu dengan Raanan. Sebenarnya pemrakarsa desa ini ada beberapa orang di antaranya Tambaani, Rumengan, Tambun, dan Pandeyate.  Rumengan merupakan kapala jaga di desa Raanan[7]. Suatu waktu ketika Rumengan tidak sepakat dengan pemerintahan Hukum Kedua Kusoy maka mereka lari ke perkebunan Lalumpe dan menetap. Sehingga awal mulanya juga kampung Lalumpe adalah tempat pelarian dari orang-orang yang tidak sepakat dengan pemerintah yang menyuruh kepada warga Raanan untuk berpindah ke suatu pemukiman yang sudah disediakan oleh pemerintah[8]. Yang ikut dengan Rumengan di antaranya ada yang bermarga Sengkey, Langi, Lumenta, dan Tambaani. Lalumpe pertama kali hanya diduduki oleh tujuh keluarga. Ketika pemerintah mengetahui tindakan Rumengan maka semua orang yang berada di Lalumpe dipanggil oleh Konterlur[9] untuk menghadap. Yang memimpin orang-orang ketika menghadap Konterlur adalah Rumengan. Pada tahun 1936 desa Raanan Lama terbagi atas jaga 1 yaitu lalumpe yang didominasi oleh jemaat GPDI, jaga 2 yang didominasi oleh jemaat Katolik, dan jaga 3 yang didominasi oleh jemaat GMIM.
                Pada tahun 1957 Hukum Besar oleh P. Lengkey[10] mengangkat Y. C. Palapa sebagai pejabat sementara di pemukiman Lalumpe ini dimaksudkan untuk persiapan menjadikan lalumpe sebagai desa yang otonom. Tetapi ketika pergolakan Permesta maka pemerintah pusat membom Tomohon karena diduga sebagai tempat persembunyian Sumual[11] dan ABRI turun sampai ke pelosok desa. Dengan terpaksa banyak warga masyarakat dan juga pejabat sementara yang ada di pemukiman Lalumpe pun mengungsi ke hutan. Dengan begitu pemukiman Lalumpe kembali di bawah kekuasaan Raanan Lama yang dipimpin oleh Hukum Tua Kewoh. Setelah keadaan aman kembali pada tahun 1965 diangkat Joseph Kumajas sebagai Hukum Tua.
C.      DESA LALUMPE DEFINITIF
Pada tahun 1967 diadakan pemilihan Hukum Tua yang baru dan Joseph Kumajas terpilih menjadi Hukum Tua definitive yang pertama[12]. Di tahun ini pula Lalumpe yang memiliki luas ± 1500 h dinyatakan secara sah menjadi desa yang terpisah dari Raanan Lama dan pemerintahan mandiri desa Lalumpe pun dimulai. Berikut ini adalah jajaran pemerintahan desa Lalumpe.

·         Joseph Kumajas  1965 – 1980
·         Sonny Sengkey  1980 – 1990
·         Ventje Onibala  1991 – 1999
·         Jerry Sengkey  1999 – 2006
·         Weliam Sengkey  2006 – ……

Setiap rejim pemerintahan mempunyai gayanya sendiri begitu pula dengan jajaran pemerintahan di atas pasti memiliki dialektika politiknya masing-masing.
D.      KAFIR DAN KEKRISTENAN
Ketika  kekristenan masuk di tanah Minahasa maka bangsa Minahasa di-judge atau dihakimi sebagai orang-orang kafir oleh karena belum mengenal injil. Dulunya orang Minahasa menyembah Opo Wananatas atau Opo Kasuruang sebagai tuhan mereka. Praktek kepercayaan animisme dan totemisme pun masih ada sampai sekarang. Kepercayaan terhadap opo’-opo’ dan wentel[13] - ada praktik kepercayaan yang bersifat positif dan ada juga yang negative; karena ada yang digunakan untuk penyembuhan terhadap penyakit kronis tetapi ada juga yang digunakan untuk mencelakai orang lain - masih bertahan walaupun tinggal sedikit saja. Misionaris Belanda yang datang di Minahasa berusaha mengikis agama kuno Minahasa dengan kekristenan.
Praktek semacam animisme dan totemisme pun pernah berlaku di masyarakat Lalumpe dan menjadi alat resistensi atau penolakan terhadap kekristenan. Para penginjil menghadapinya dengan membuat persamaan atau mengidentifikasi tempat-tempat local dengan tempat-tempat yang ada di alkitab. Misalnya Sungai Ranoyapo[14] adalah sungai tempat Yesus dibaptis dan Gunung Soputan adalah tempat lahirnya Adam dan Hawa. Penginjil pertama yang masuk adalah Pendeta Mundung dari Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) yang berasal dari Kumelembuai[15].  GMIM pertama di Lalumpe berjumlah 17 keluarga. Pantekosta masuk di Lalumpe pada tahun 1931 yang dibawa oleh Palapa dan pada tahun berikutnya terjadi mujizat ketika seorang tua-tua sidang pantekosta berdoa bersama rombongan mapalus. Waktu itu adalah musim kemarau yang panjang sehingga susah mendapat air ketika mereka berdoa maka muncullah mata air di lereng bukit. Air yang keluar dari lereng bukit itu kemudian dinamakan Air Mujizat[16].
Perkembangan penganut Pantekosta sangat pesat waktu itu sehingga ada istilah masa ‘peningkatan’ atau ‘cinta mula-mula’. Di masa itulah air mujizat terjadi oleh karena iman jemaat yang katanya walaupun tak makan sehari tidak merasa lapar ketika berada di dalam gereja. Tetapi pada tahun 1984 terjadi perpecahan dalam gereja Pantekosta (GPDI) karena konflik internal sehingga berdirilah GSPDI.
E.       KESADARAN PENDIDIKAN
Joseph Kumajas (1922 – 2003) adalah perintis perekonomian dan juga pendidikan di desa Lalumpe. Sebagai Hukum Tua pertama dia mampu membentuk perspektif masyarakat yang sadar akan pendidikan. Sehingga tidak heran kalau kita berkunjung ke desa Lalumpe dan memasuki rumah warga satu persatu maka kita akan menemukan foto wisuda hampir di setiap rumah. Anaknya yang bernama Mitel Kumajas juga mampu membawa nama Lalumpe dalam dalam dunia pendidikan di Universitas Negeri Manado. Pernah menjabat sebagai dekan Fakultas Ilmu Sosial dan sempat menjadi calon Rektor UNIMA.
Masyarakat desa Lalumpe yang sadar akan pendidikan mampu memproduksi sumber daya manusia yang memberi berkontribusi dalam dunia pendidikan, pemerintahan, politik, dan juga tenaga kerja yang lain. Walaupun pada kenyataannya lembaga pendidikan di desa Lalumpe hanyalah sekolah dasar (yayasan SDGP dan SD GMIM) tetapi ada kemauan masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Kesadaran pendidikan juga dalam masyarakat desa Lalumpe didorong juga oleh semangat kekristenan. Pada tahun 1965 dibuka sekolah dasar  di desa Lalumpe dan sekolah ini merupakan yayasan SDGP pertama di Indonesia. Pada waktu itu pun pihak gereja banyak mencari bantuan dari luar negeri (kompeisen) untuk membantu pendidikan warga desa. Sehingga pendidikan di desa ini pula tak lepas dari kekristenan.
F.       PENUTUP
Penulis menyadari bahwa tulisan ini memiliki banyak sekali kekurangan tetapi penulis tetap optimis bahwa langkah ini adalah sebuah kesadaran akan pentingnya nilai-nilai sejarah. Oleh karena sejarah merupakan identitas suatu bangsa. Kehilangan sejarah berarti kehilangan akan identitas atau jati diri kita yang sebenarnya. Penulis memang mengalami banyak kesulitan dalam menetapkan tahun dalam satu peristiwa oleh karena hampir setiap sumber memberikan keterangan yang berbeda tentang angka tahun. Penulis melakukan analisa dari semua sumber keterangan dan mencoba berlaku objektif dalam menulis sejarah ini.
Junaidi Rawis saat bercakap dengan warga desa
Harapan penulis kiranya tulisan ini boleh menjadi tumpuan bagi sejarahwan untuk melanjutkan penelitian agar mendapat kepastian sejarah. Biarlah sejarahwan nanti yang akan melakukan analisa kritis dan mencari bukti-bukti yang lebih valid untuk memperbaiki semua kekurangan yang ada dalam tulisan ini. Kiranya juga tulisan ini boleh bermanfaat bagi warga desa Lalumpe yang tidak lagi gemar bertanya dan mendengar kisah-kisah dari para tetua kita. Mungkin dengan membaca tulisan ini kita dapat menambah wawasan sejarah kita tentang desa Lalumpe yang kiranya boleh berguna dalam menghadapi tantangan global yang sedang mengikis identitas local/daerah kita.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih atau kerjasama dari orang-orang yang telah menjadi nara sumber yang dengan sabar meluangkan waktu untuk memberikan keterangan dalam menyusun sejarah desa Lalumpe. Terima kasih juga kepada pemerintah desa yang merespon baik upaya penulisan ini dan kepada warga desa yang telah menyambut kehadiran penulis dengan segala kekurangannya. Juga kepada Junaidi Rawis yang dengan setia menemani untuk mencari keterangan secara lisan dan mengunjungi tempat-tempat bersejarah.




















Tete' Hermanus Lampah bersama istrinya









Tete' Andri Marthen Sengkey








tawa malu anak-anak










[1] Mawale adalah bahasa toutemboan yang terdiri dari ma menunjukkan suatu kegiatan atau gerak sedangkan wale artinya rumah. Jadi, secara etimologis mawale artinya gerak atau kegiatan membangun rumah. Tempat yang dirujuk ini berada di daerah barat desa Tondei yang tidak lagi diduduki oleh penduduk. Menurut Ventje Onibala (1949 - …..) gerak masyarakat awalnya dimulai dari desa Raanan (lama)
[2] Mangindanau adalah orang-orang Filipin yang datang menculik gadis-gadis di Mawale.
[3] Yohanis Rumengan lahir tahun 1866 dan meninggal di usia 97 tahun pada 25 November 1963. Istrinya bermarga Laloan. Rumengan-Laloan memiliki anak di antaranya bernama (laki-laki) Alfius, Paulus (menjadi gembala dan meninggal di Ranoyapo), Pilipus, Yustus, Andreas, (perempuan) Len dan Tin.
[4] Semacam kendi air atau guci.
[5] Dalam bahasa Indonesia jenis burung ini disebut burung hantu.
[6] Keterangan ini diperoleh dari Andri Marthen Sengkey (1935 - …..)
[7] Keterangan dari Hermanus Lampah (1931 - …..) Rumengan statusnya adalah meweteng dari Raanan. Keterangan yang sama pun didapat dari Ventje Onibala; kapala jaga waktu itu adalah Tambaani.
[8]Tempat pemukiman yang baru itu adalah yang sekarang menjadi Raanan Baru. Kebijakan pemerintah untuk memindahkan penduduk raanan karena di situ ternyata ada sumber minyak tanah. Masyarakat menggunakan minyak tanah hanya untuk kepentingan masyarakat karena mereka meyakini minyak tanah tersebut adalah pemberian apo-apo. Ada daya magis yang bisa mengindetifikasi kebutuhan minyak tanah masyarakat sehingga jika ada orang yang masih memiliki minyak tanah di rumah kemudian pergi mengambil minyak tanah maka itu hanya akan menjadi air biasa. Distribusi minyak tanah diatur oleh nene’ Remaya yang menggunakan daun woka (lolomei) untuk mengambil minyak tanah dan diisi dalam botol plesko. Kalau hanya menggunakan botol biasa hanya akan menjadi air biasa.
[9] Pada jaman hindia-belanda pemerintahan terbagi tiga yaitu pemerintahan zelfbestuur yang terpisah dari pemerntahan colonial; pemerintahan yang dipegang oleh orang pribumi yang dinamakan pangreh praja yang terdiri dari bupati, patih, wedana, dan asisten wedana; pemerintahan yang dipegang oleh orang belanda yang disebut benenland bestuur yaitu gubernur jendral, residen, asisten residen dan controleur. Mungkin kata controleur yang diacuh oleh pemberi keterangan. Pemerintahan ini bertempat di Amurang.
[10] Menurut Ventje Onibala (1949 - …..) yang menunjuk J. C. Palapa adalah Hukum Tua Raanan yaitu Poluakan.
[11]Ventje Sumual adalah pimpinan Permesta yang menentang pemerintah pusat  oleh karena sentralisasi pembangunan.
[12] Menurut keterangan Hermanus Lampah (1931 - ….) Hukum Tua pertama adalah Manuel Poluakan.
[13]Opo’-opo’ adalah kepercayaan kepada jiwa-jiwa leluhur atau orang-orang yang sudah mati yang diyakini masih mendampingi manusia. Wentel adalah benda seperti jimat yang diyakini bisa memberikan kekuatan seperti kebal terhadap benda tajam. Kepercayaan kuno yang bersifat negative dinamakan ma’diara.
[14] Sebutan ranoyapo dulu adalah rano-i-yapo yang artinya air tuhan. Tuhan di sini merujuk pada Isa Almasih atau Yesus. Sungai ini diidentifikasi berkaitan dengan kekeristenan oleh karena kebanyakan sungai yang ada di sekitarnya memiliki nama dari bahasa mongondow. Nama sungai seperti  tangali, moyomboong, segitoi, dan tumicakal adalah bahasa mongondow.
[15]Keterangan dari Andri Marthen Sengkey (1935 - ….) GMIM pertama dimulai dengan enam klasis atau wilayah. Salah satunya adalah Kumelembuai. Enam anak panah yang ada dalam logo GMIM adalah symbol enam wilayah.
[16] Baca tulisan saya yang berjudul Air Mujizat di Desa Lalumpe.

Minggu, 24 Juli 2011

SEBUAH PANDANGAN PARADOKSAL TERHADAP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI UNIVERSITAS NEGERI MANADO


Saya kira hampir seluruh mahasiswa Unima akan bersepakat dalam hati dan pikiran bahwa telah terjadi banyak kejahatan birokrasi di universitas kita. Hampir di setiap prosedur akademik yang harus dilalui oleh mahasiswa harus berhadapan dengan pungutan liar (pungli) yang tidak lain adalah bentuk ekploitasi[1]. Memang fenomena ini sangat mengherankan oleh karena banyak mahasiswa yang berusaha meyakinkan bahwa bentuk eksploitasi ini (pungli) adalah hal tidak benar dengan berbagai protes dalam bentuk aksi atau selebaran tetapi para penjahat birokrasi ini tak mengacuhkannya. Mungkin dalam kesadaran mereka pungutan liar adalah usaha halal dan merupakan tradisi birokrasi dan bukanlah hal yang salah atau berkaitan dengan dosa. Memang di kalangan masyarakat ilmiah banyak dosa yang telah dirasionalisasi menjadi hal yang benar.
                Hal yang paling ironis adalah ketika mahasiswa diarahkan untuk menjadi sarjana yang individualistis. Oleh karena prinsip-prinsip individual ditanamkan dalam pikiran mahasiswa baik oleh dosen maupun pegawai. Mahasiswa dipaksa untuk cepat-cepat menyelesaikan studi dengan dorongan-dorongan yang membentuk pandangan individualistis. Mahasiswa juga didoktrin untuk tidak mengikuti organisasi kampus karena dipandang menjadi hambatan dalam belajar. Organisasi dipandang sebagai hal yang tak berguna dan menjadi penghalang dalam studi.
                Sebelum lanjut saya ingin kita memberi perhatian pada apa sebenarnya alasan keberadaan organisasi di kampus dan apa manfaatnya. Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat) adalah rangkaian yang memuat cita-cita dan proses akademik. Para calon sarjana diarahkan untuk memiliki jiwa social sehingga ilmu yang diperolehnya akan diabdikan untuk masyarakat. Keberadaan organisasi dikampus sebenarnya adalah wadah berlatih dan tempat untuk membentuk jiwa social. Mahasiswa diperlengkapi dengan pandangan-pandangan social di luar disiplin ilmu yang ditempuhnya. Mereka juga dilatih menyeleggarakan kegiatan-kegiatan yang bersifat social atau mencari solusi terhadap masalah social. Intinya, organisasi hadir dikampus untuk menunjang Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk membentuk sarjana yang berjiwa social.
                Anehnya banyak dosen dan pegawai yang tidak memahami soal ini sehingga membuat banyak propaganda anti-organisasi terhadap mahasiswa baru. Saya melihat ini adalah suatu tindakan yang mengkhianati cita-cita pendidikan itu sendiri. Organisasi selalu diidentikan dengan politik dan politik dianggap tidak baik. Padahal seharusnya lembaga pendidikan diharapkan untuk membentuk masyarakat yang sadar berpolitik sehingga dapat memperbaiki keadaan social yang kacau. Praktik seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah bentuk nyata dari prinsip-prinsip individualistis. Bagaimana kita bisa memperbaiki keadaan social jika lembaga pendidikan justru mendorong para calon sarjana untuk menjadi individualistis. Usaha membuat para mahasiswa cepat menyelesaikan studi menciptakan prakti-praktik tak sehat dalam dunia akademik. Banyak sarjana yang tercipta jauh dari cita-cita pendidikan; nilai-nilai tinggi yang dibayar pada dosen, skripsi pesanan, dan amplop-amplop untuk memperlancar administrasi. Dengan begitu universitas bukannya memperbaiki masalah social tapi justru memperparah keadaan dengan menciptakan tenaga kerja yang tidak memiliki kemampuan sebagaimana yang seharusnya.
                Ada langkah-langkah penting yang telah diabaikan oleh penyelenggara pendidikan. Contohnya Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah bagian dari proses akademik untuk membentuk jiwa sosia pada calon sarjana. Tetapi ketika sertifikat KKN bisa diperoleh dengan membayar Rp 500.000 tanpa  turun lapangan maka mereka telah melewatkan hal krusial dalam proses akademik. Kemudian munculnya KKN satgas dan dikuranginya waktu lamanya KKN sampai dua bulan saja sungguh  mengabaikan Tri Dharma Perguruan Tinggi itu sendiri. Interaksi dengan masyarakat dipersingkat sehingga ini membuat para calon sarjana semakin individualistis. Dulunya untuk mendapatkan sertifikat kita harus menempuh enam bulan tapi kemudian dikurangi sampai dua bulan dan bahkan bisa diperoleh dalam beberapa jam saja asalkan dengan ‘amplop’.
                Kuliah Kerja Nyata merupakan uji coba para calon sarjana untuk membuktikan ilmu yang telah mereka peroleh di universitas. Ketika mahasiswa yang tidak memiliki bekal organisasi turun ke masyarakat maka mereka mengalami banyak kesulitan. Tidak tahu mekanisme musyawarah, tidak bisa menyusun program kerja, dan yang paling parah tidak bisa membaca psikologi masyarakat. Ini dikarenakan oleh tidak adanya jiwa social dalam diri mahasiswa yang seharusnya itu dibentuk dalam organisasi kampus. Hal yang serupa itu pun terjadi dalam Program Pengenalan Lapangan (PPL) ketika para calon pengajar ternyata tidak memiliki kemampuan mengajar sebagaimana seharusnya. Tidak adanya kemampuan edukatif juga disebabkan oleh prinsip individualistis yang ditanamkan pada mahasiswa.
                Sekarang mari kita berfokus pada proses perkuliahan di dalam kelas atau ruangan. Kita akan mendapati dalam perkuliahan dosen-dosen yang tak berkualitas dan yang berkualitas tetapi tidak memiliki jiwa social. Mereka menjalankan tanggung jawab sosialnya tanpa mengerti tentang filosofi dan aturan pendidikan. Banyak dosen yang egois dan tak mampu menciptakan  kondisi yang dialogis kritis dalam perkuliahan. Mahasiswa tidak diberi kesempatan untuk bernalar sehingga perkuliahan menjadi semacam proses indoktrinasi. Padahal aturan pendidikan kita menuntut adanya keterbukaan, demokrasi, dan menciptakan manusia yang mempunyai jiwa social. Tetapi inilah akibat dari tidak adanya kesadaran akan pentingnya organisasi. Mahasiswa hanya didikte untuk belajar dan menghafal sejuta teori sehingga tidak adanya inovasi dalam dunia pendidikan kita. Yang selalu diperbaharui hanya kurikulumnya saja semetara untuk teori atau penemuan tidak ada yang baru. Contohnya, pembuatan skripsi paling banyak diarahkan kepada sesuatu yang mudah saja. Skripsi tentang pendidikan ada jutaan di universitas kita tetapi paling banyak memiliki tema, pembahasan, dan bahkan judul yang sama. Anehnya juga mahasiswa tidak diberi keleluasaan untuk mencipta yang baru. Kita dipaksa untuk memberi rujukan dihampir setiap kalimat dalam skripsi atau proposal penelitian kita.
                Universitas yang sebenarnya menjamin kebebasan berpikir dan bereksperimen untuk mencipta sesuatu yang baru justru menjadi penghalang. Sesuatu yang inovatif menjadi tabu di universitas kita sehingga segala sesuatu harus mempunyai referensi. Ketika mahasiswa bicara tentang sesuatu yang baru maka dosen-dosen penguji akan menyerang dengan alasan bahwa pernyataan-pernyataan yang kita bicarakan tidak mendasar karena tidak memiliki referensi. Padahal pemikiran kita mungkin berpotensi menciptakan cabang ilmu yang baru. Tetapi inilah kekurangan penyelenggara pendidikan kita yang tak memiliki pandangan yang jelas tentang tugas mereka yang sebenarnya.
                Kecacatan dalam dunia pendidikan paling banyak terletak pada penyelenggaranya sehingga kita akan menemukan banyak kontradiksi di dalamnya. Dosen yang mengajar demokrasi justru bersikap otoriter. Dosen yang mengajar tentang strategi pembelajaran justru tak mampu mengelolah kelas dan menciptakan pembelajaran yang dialogis kritis. Mereka tampak seperti berbohong ketika mengajar oleh karena mereka sendiri tidak menerapkan apa yang mereka ketahui. Ini menciptakan pandangan bahwa sebenarnya kita tidak perlu menerapkan apa yang kita pelajari dan cukup hanya sebagai wawasan saja oleh karena para pengajar kita berlaku demikian. Pendidikan kita telah menjadi formalitas belaka sehingga kita tak lain adalah kaum munafik yang menghuni lembaga pendidikan. Universitas menjadi semacam proyek untuk menghasilkan uang dan mengabaikan cita-cita pendidikan itu sendiri. Ini adalah hal yang sangat ironis dan kontradiktif ketika kita mencoba untuk melihat pendidikan secara lebih lebih dekat. Hal-hal filosofis dan regulative banyak yang telah diabaikan sehingga produk lembaga pendidikan sangat jauh dari apa yang diharapkan. Apakah dengan keadaan seperti ini pendidikan kita mampu menghadapi tantangan globalisasi? Saya rasa tidak. Ketika negara kita beralih menjadi negara industri maka kita hanya akan menjadi budak-budak kaum kapitalis.
                Kalau kita mempertahankan status quo maka pendidikan kita tetap berada dalam lingkaran setan. Kita butuh suatu gebrakan yang mengakomodir manusia-manusia yang mempunyai kapabilitas, berjiwa social, dan visioner untuk menciptakan suasana pendidikan yang lebih baik. Dengan begitu kita dapat memotong generasi konservatif yang menjadi parasit dalam lembaga pendidikan.


[1] Baca tulisan saya yang berjudul Kritik atas Kaum Idealis, Aktivis, dan Moralis